Pertama, aliran yang
mengatakan bahwa setiap anak yang melanggar aturan harus dihukum. Anak yang
terlambat datang di sekolah harus diberi hukuman. Siswa yang tidak mengerjakan
tugas / PR juga diberi punishment.
Anak yang usil dengan temannya juga harus di setrap. Bentuk hukumanpun bisa beragam Anak yang ketinggalan buku
pelajaran juga harus diperlakukan khusus, berdiri 2 jam di belakang kelas
misalnya. Dan seterusnya. Prinsipnya setiap guru berhak menghukum siswanya. Toh, Orang tua telah menyerahkan proses
pendidikan kepada sang guru. Apa yang dilakukan guru demi kebaikan si anak.
Proses penegakan aturan ini harus di kawal oleh sang guru. Jika tidak, maka
bisa jadi kejadian serupa yang dianggap melanggar bisa ditiru siswa yang lain.
Kedua, aliran yang
mengatakan bahwa tidak boleh ada hukuman pada siswa. Menghukum anak dianggap
TABU dan pelanggaran berat bagi sang guru. Pada prinsipnya anak tidak pernah
salah. Kalaupun dia berbuat salah mungkin karena dia tidak tahu. Andaikan dia
tidak mengerjakan tugaspun, bisa jadi sia anak belum paham atau belum mengerti.
Bisa jadi sang guru kurang pandai memotivasi. Atau guru tidak terampil
menjelaskan materi sesuai dengan tingkat kognisi siswa. Jika ada anak yang usil
dan mengganggu temannya harus diberi nasihat positif dengan pilihan kalimat
yang bijak. Sebaliknya sang anak yang berhasil terhadap sesuatu, sekecil apapun
itu harus diberi hadiah. Reward yang
diberikan harus bervariasi. Minimal tepuk tangan dan acungan jempol. Apresiasi untuk
anak dianggap mampu membuat prestasi lebih dan membuat anak lebih percaya diri.
Ketiga, aliran yang tengah-tengah.
Guru boleh menghukum jika dianggap sudah keterlaluan. Keterlaluan ini beragam
penafsiran. Tergantung mood sang
guru. Sesuai kebijakan dan kebjaksanaan guru masing-masing. JIka pas aura guru baik, hukuman yang semestinya
diberlakukan bisa menjadi sirna atau setidaknya lebih ringan. Bisa jadi
gara-gara sang anak ini anak emas atau anak pejabat penting. Kalimat yang
dipakai guru, boleh menghukum asal bla–bla bla. Batasan ini biasanya dituangkan
dalam bentuk tata tertib. Dalilnya sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun
demikian aliran ini tendensiaus. Bisa condong ke aliran pertama, atau condong
ke aliran kedua. Mengapa demikian, karena tidak ada aturan baku kapan sang guru
boleh menghukum, kapan tidak.
Agar tidak terjadi ranah abu-abu pada
aliran ketiga di atas, berikut ini langkah-langkah yang bisa diambil agar
keputusan menghukum siswa TEPAT. Prosedur ini harus dijalani sebelum keputusan
final menghukum diberlakukan. Tahapan ini biasa dinamai Copete Celaan Hu, yaitu
:
1. Co
(Contoh)
2. Pe
(Peringatan)
3. Te
(Teguran
4. Ce
(Cegah)
5. La
(Larangan)
6. An
(Ancaman)
7. Hu
(Hukuman)
Tidak boleh seorang anak itu
dihukum sebelum diberi contoh oleh gurunya. Bagaimana seharusnya bertindak
harus dicontohkan oleh guru dengan jelas dan detil. Anak tidak boleh dihukum
gara-gara pekerjaannya tidak rapi jika sang guru belum memberi contoh. Anak
tidak boleh dihukum gara-gara terlambat, jika guru belum beberi contoh disiplin
masuk kelas. JIka contoh sudah berikan dan anak masih melanggar, baru diberi
peringatan. Guru mengingatkan bagaimana mestinyaa. Apabila masih juga
melanggar, si anak ditegur. Guru harus mencegah agar tidak berlanjut, apabila
sang anak setelah ditegur masih melanggar. Langkah berikutnya guru boleh
melarang berbuat ini dan itu, jika dicegah masih tidak mempan. Jika berulang masih seperti itu guru boleh memberi ancaman.
Ini adalah peringatan terakhir. Apabila akhirnya si anak benar-benar melanggar
barulah sang guru memberi hukuman. Langkah-langkah di atas harus dilalui dengan
sabar dan telaten, karena guru adalah mendidik bukan sekedar mengajar. Tidak boleh
ada langkah yang dihilangkan atau melompat langsung ke langkah yang lebih
tinggi resikonya.
Nah, sudahkah kita melakukan
prosedur di atas?