Senin, 28 Agustus 2017

Mendongkrak Nasionalisme Calon Guru

Mas, kalau besar ingin jadi apa? Respon pertanyaan ini beragam. Ada yang senyum, ada yang kaget, ada yang melongo, ada yang menatap dengan pandangan selidik. Namun beberapa saat berikutnya mereka menjawab, walau ada yang yakin ada yang ragu-ragu, ada yang belum tahu. Jawaban umum yang saya peroleh ada 3, yakni ingin menjadi dokter, menjadi pengusaha, dan menjadi teknokrat (insinyur). Sebagian kecil menjawab belum tahu atau lihat nati saja ustad.

Ketika pertanyaan tadi dipertajam, terus setelah menjadi dokter ngapain? Setelah menjadi pengusaha ngapain?. Andai sudah menjadi insinyur hebat, terus ngapain?. Umumnya mereka sulit menjawab. Anak muda tersebut berpikirnya individualis. Yang penting saya pinter, kuliah sukses, dapat pekerjaan enak, punyak rumah mewah plus perusahaaan pribadi. Jarang berpikir kontribusi pada negara. Bukankah negara sudah ada yang mengurusi yaa? Begitu pikir mereka.

Lho, ustad, dokterkan berjasa buat orang lain? Begitu juga insinyur dan pengusaha. Apa yang salah? Argumen mereka begitu. Tidak salah memang. Kalaa saja pemuda bangsa ini berpikir lebih luas, tentu kebermanfaatannya jauh lebih banyak lagi. Kalau saja separoh anak bangsa ini berpikir jauh lebih luas, tentu negeri ini tidak terlalu lama menjadi negara berkembang.

Kesimpulan sementara dari uraian di atas adalah sebagian besar pemuda masih memikirkan diri sendiri. Terus dimana letak rasa nasionalismenya? Umumnya meraka bangga kalau timnas juara sea games, atau perlombaan sejenis yang mengaharumkan nama bangsa. Peringatan 17-an dengan aksesoris perjuangan pahlawan sudah dianggap cukup mewakili rasa nasionalisme. Perlombaan yang unik dan kadang nyeleneh sudah dianggap memeriahkan dan wujud kecintaan pada negeri. Atribut bendera baik di sepanjang jalan, di pintu masuk gang maupun yang menempel di bajupun juga sudah dianggap cinta pada bangsa dan negara. Tapi apa iya cukup begitu?

Ini menjadi pertanyaan besar bagi guru. Bagi calon guru, ini menjadi pijakan untuk berbuat lebih. Menurut penulis, Tidak cukup hanya sekedar memperingaai hari kemerdekaan, hari pahlawan, hari kebangkitan nasional, hari sumpah pemuda dst. Perlu aksi lebih riil untuk menanamkan jiwa nasionalisme. Guru perlu memompa semangat nasionalisme dengan menunjukkan kondisi negeri ini dalam konteks kekinian. Tentu para guru harus up to date sekaligus menyaring berita yang berseliweran setiap saat. Ujungnya, guru perlu mendiskusikan alternatif solusi. Siswa perlu dirangsang agar ide cemerlangnya bisa muncul sekaligus realistis untuk dilakukan.

Kalau saja setiap calon guru mampu memperbaiki dirinya setiap waktu tentu dia akan menjadi pribadi yang layak dicontoh. Berikutnya murid-murid di kelasnya akan terimbas menjadi murid yang pribadinya kokoh sekaligus haus akan prestasi baik. Di kemudian hari murid ini akan tumbuh menjadi orang baik. Pada saatnya nanti sang murid akan menjadi leader yang baik. Jika banyak orang baik tentu negeri ini menjadi negeri yang baik. Singkatnya untuk menanamkan nasionalisme pada siswa, guru perlu memperbaiki diri dan menularkannya. Dia tidak perlu menyuruh tetapi cukup mengajak.

Sebagai calon guru muslim, memperbaiki akhlak murid sudah tidak bisa ditawar lagi. Kualitas anak didik mempengaruhi kualitas sekolah. Selanjutnya mempengaruhi kualitas masyarakat dan ujungnya memperngaruhi kualitas umat. Jika kita bisa memperbaiki kualitas umat ini, sama saja dengan kita juga memperbaiki kualitas bangsa ini. Bukankah 87% warga negara ini muslim? Dengan kondisi mayoritas mutlak ini, maka kualitas sekolah Islam setara dengan kualitas bangsa. Bukankah begitu?