Kamis, 27 November 2014

Guru Borderless

Cobalah sekali-kali bertanya pada seorang siswa, buat apa belajar matematika? Kemungkinan besar dia akan diam sejenak. Sambil mendongak dan bergumam ehm, apa yaa. Paling dia akan menjawab, pokoknya matematika itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Coba tanya lagi, terus manfaatnya apa? Paling sering siswa akan menjawab yaa untuk menghitung kalau kita belanja. Atau dia kan menjawab yaa agar kita bisa menghitung waktu, kapan berangkat dan kapan pulang.

Jawaban di atas tidaklah salah. Lumrah. Padahal kalau sekedar menghitung belanjaan, tidak usah pakai matematika, toh sekarang sudah ada barcode. Tinggal di laser udah keluar angka-angka. Dijamin tepat, hitungan tidak akan meleset. Kalau sekedar mengitung waktu, tidak perlu metematika tinggi. Toh, sekarang udah ada alarm, baik di HP atau di jam tangan. Di jamin alarm itu konsinten dan tidak akan malas mengingatkan kita.

Senin, 24 November 2014

Kesempatan untuk Adil

Lima menit lebih kami berdiri di depan pintu rumah. Tak ada jawaban walaupun bel saya tekan tiga kali. Rumah itu besar, anggun dan asri. Terdapat taman indah di depan dan sebuah mobil di halaman samping. “Maaf pak, ibu masih keluar.” Suara itu mengagetkan saya dan pak Yanto. “Silahkan masuk Pak”. “Oh iya ndak apa-apa mbak, kami sudah janjian kok, kami tunggu saja. terima kasih.” Jawab saya.
Sambil menunggu kami mencicipi hidangan setelah di persilahkan. Sesekali kami membaca koran dan majalah di ruang tamu walau hanya sebatas judul dan sub judulnya saja. Beberapa saat kemudian, sang tuan rumah datang. Lebih menyenangkan lagi suami beliau juga datang. Setelah kami memperkenalkan diri, saya mulai mengeksploarsi kepribadian murid saya itu. Dan ternyata benar, seperti yang terjadi di ruang kelas. Dia pendiam, agak susah bersosialisasi. Suka fotografi, tapi tidak suka di foto. Sering asyik dengan dunianya sendiri. Dan yang jelas, pemalu.

Rabu, 19 November 2014

Flashbulb Memory

Apa yang Anda makan lima hari yang lalu? Apa warna pakaian yang Anda kenakan 10 hari yang lalu? Kemungkinan besar kita susah menjawabnya. Mengapa? Karena kita lupa. Mengapa kita lupa? Iya, karena menurut kita, itu tidaklah penting. Itu hal remeh dan tidak perlu untuk diingat. Sebenarnya, begitu kita bangun tidur, saat indera bekerja, ratusan informasi masuk ke otak kita. Begitu juga saat kita naik motor di jalan raya. Ribuan informasi masuk ke memori kita setiap detik. Tetapi ketika ditanya, apa warna mobil yang 5 menit lalu melintas? Kita tidak akan ingat. Mengapa? Sekali lagi, karena itu tidak penting.

Hal yang sama juga berlaku bagi siswa di kelas. Siswa pastilah tidak ingat apa yang di lakukan teman sebangkunya empat hari yang lalu. Bahkan mungkin juga siswa tidak ingat lagi apa yang diucapkan sang guru beberapa hari yang lalu. Ribuan informasi masuk ke memori kita setiap hari, baik yang berupa verbal maupun visual. Namun semua itu kita lupakan begitu saja. Hanya informasi yang kita anggap penting saja, yang kita simpan di dalam otak kita.

Menebak Angka yang Hilang

Bilangan apapun jika dikurangi jumlah angka-angkanya, maka hasilnya pasti habis dibagi sembilan. Teorema ini unik dan luar biasa. Berlaku untuk semua bilangan positif yang angka-angkanya (digitnya) lebih dari dua. Untuk meyakinkan pernyataan tersebut, mari kita membuat contoh – contohnya.   

Senin, 17 November 2014

Menebak pikiran dua orang sekaligus

Matematika itu unik. Matematika juga sistematis. Saking sitematisnya, dapat digunakan untuk menebak pikiran orang. Umumnya permainan matematika dapat menebak pikiran satu orang. Atau menebak pikiran banyak orang tetapi hasil akhirnya tunggal. Nah, permainan yang satu ini beda. Bisa digunakan untuk menebak pikiran dua orang sekaligus.

Untuk mengetahui uniknya permainan yang satu ini, ikuti langkah berikut.

Meramal Angka

Permainan berikut dapat digunakan sebagai wahana rekreasi matematika. Disela-sela kepenatan berfikir matematik, tidak ada salahnya mencoba permainan berikut ini. Tujuan permainan ini bukan sekedar menunjukkan ke siswa, bahwa guru matematika itu hebat. Tetapi lebih dari itu, menunjukkan bahwa matematika itu konsiten. Sehingga bisa diprediksi hasil akhirnya. Bagaimana bentuk permainan tersebut, ikuti langkah – langkah di bawah ini.

Jumat, 14 November 2014

Inhibisi

Pernahkan Anda berangkat ke tempat kerja dengan waktu yang ‘ngepres’ alias ‘mepet’? Dampak dari itu, pastilah Anda terburu-buru menyiapkan diri. Akan sedikit ‘ngebut’ di jalan raya. Biasanya ‘ngomel’ ketika lampu merah lama berganti hijau. Juga akan menggerutu ketika jalanan macet akibat ada kereta yang melintas. Klakson akan mudah kita pencet. Suasana hati tegang, konsentrasi lebih tinggi. Pokoknya tidak nyaman, tidak nyantai, dan tidak rileks. Kita tahu, hal tersebut tidak mengenakkan. Anehnya kondisi seperti itu kita ulangi besok, dan besoknya lagi. Itu artinya kita mengalami kegagalan inhibisi.

Inhibisi adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu respon tertentu karena adanya proses respon lain yang sedang berlangsung (Reber, 1988). Menurut artikata.com, inhibitasi berarti hambatan, larangan, atau pencegahan. Dalam hal belajar, yang dimaksud inhibisi adalah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lain yang lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Rabu, 12 November 2014

Simpan Pinjam

Apa yang kita lakukan jika mengajarkan 9 + 5 pada anak kelas 1 SD? Umumnya kita menggunakan 9 jari tangan kemudian menambahkan dengan 5 jari kaki. Kemudian menghitungnya satu per satu. Cara lain yang lebih ‘praktis’ adalah, kita bilang 9 nya di mulut dan jari tangan menunjukkan 5. Setelah itu kita mencacah melanjutkan 10, 11, dan seterusnya hingga didapat hasil 14. Perhitungan masih bisa diatasi kalau hitung penjumlahan ini hingga 20 saja. Atau mungkin maksimal hanya sampai 40. Yakni 20 + 20. 20 nya di mulut, sisa dicacah pakai jari tangan dan kaki. Kenapa bisa begitu? Ya, karena jari kita tangan dan kaki kita tidak lebih dari itu.

Begitu hasil hitung penjumlahan lebih dari 40, kita agak kerepotan mengajarkannya. Tidak semua anak bisa  diajak berfikir abstrak. Tetap perlu ‘alat bantu’ untuk menemukan hasil penjumlahan. Kalau jaman dulu, biasa menggunakan kelereng atau biji-bijian. Potongan lidi dan stik ice cream juga kadang masih bisa digunakan. Hal itu tidak salah. Boleh-boleh saja. Untuk tahap pemula, boleh kita gunakan alat bantu tersebut. Tetapi lambat laun, kita harus bisa menguarangi ketergantungan anak pada alat itu. Anak diajak sedikit- demi sedikit berfikir sedikit abstrak. Melatih berhitung secara mental.

Senin, 10 November 2014

Merdeka ataoe Mati

Slogan ini beresiko. Menutup peluang lain. Pilihannya hanya dua. Kalau tidak bebas (merdeka), ya mati. Lebih baik mati daripada dijajah kembali. Ada keyakinan kuat dalam slogan ini. Keyakinan yang menumbuhkan kekuatan, sekaligus pengorbanan. Tidak tanggung-tanggung, nyawa menjadi taruhannya. Semakin sering diucapkan, semakin meningkat semangatnya. Begitu kira-kira ilustrasi kejadian sekitar 10 November, 69 tahun yang lalu di Surabaya.

Peristiwa heroik itu diperingati setiap tahun. Kostum pahlawan yang didominasi baju compang-camping mewarnai setiap parade. Juga baju celana doreng, dipakai dimana-mana. Tidak ketinggalan bambu runcing sebagai aksesoris utama kegiatan selalu ditonjolkan. Duplikat bung Tomo selalu ada, bahkan kadang dilombakan. Siapa yang dianggap paling mirip, dialah juaranya. Peringatan seperti ini penting untuk mengingat jasa para pahlawan. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yaitu mewarisi semangat dan melanjutkan perjuangan mereka agar negeri ini benar-benar merdeka.

Jumat, 07 November 2014

Malpraktek

Siapapun kita, pasti pernah menilai guru kita, walau itu tidak diucapkan terang-terangan. Kita sering melabeli guru A enak, guru B kurang enak, guru C tidak enak. Enak disini berarti enak mengajarnya. Tentu hal ini relatif. Tetapi kan bisa diukur. Kebanyakan siswa merasa nyaman dengan guru tersebut atau tidak. Andai disurvey pun, hasilnya kemungkinan besar tidak jauh dari rasan-rasan siswa. Mengapa ada guru yang tidak enak? Bisa saja itu terjadi karena guru tersebut melakukan malpraktek dalam proses mengajar.

Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi (dimensiilmu.blogspot.com). Jadi ada dua unsur dalam malpraktek. Pertama, kelalaian profesi dalam melaksanakan prosedur dan kedua, mengakibatkan kerugian.

Plateau

Pernahkah Anda merasa sudah belajar tapi tidak mendapatkan apa-apa? Mungkin Anda membaca buku, tapi setelah dapat separoh Anda hanya melihat sub judulnya saja. Atau mungkin Anda pernah menyaksikan seorang siswa yang melihat dan mendengar penjelasan guru, tetapi ketika ditanya tidak mengerti apa-apa. Bisa jadi itu adalah gejala jenuh belajar. Saya yakin hampir semua dari kita pernah merasakan hal itu.

Jenuh biasa diartikan jemu atau bosan. Jenuh juga bisa berarti padat atau penuh sesak sehingga tidak mampu lagi memuat apapun. Dalam belajar, selain lupa, siswa sering mengalami kejenuhan. Peristiwa negatif ini dalam psikologi lazim disebut learning plateau atau plateau (baca: pletou). Peristiwa ini membuat siswa merasa mubazir dalam usaha belajarnya.

Rabu, 05 November 2014

#StopNgaji

Menurut data Transparency International (TI) tahun 2013, dari 117 negara yang disurvey, Indonesia berada di urutan 64 negara terkorup di dunia. Hasil ini jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga, Singapura yang berada di posisi ke 5 negara paling bersih versi TI. Menurut ketua GOPAC (Global Organization of Parliamentarians Against Corruption) Indonesia, Bapak Pramono Anung, korupsi di negara ini sudah menjadi masalah serius. Sudah sangat mengkhawatirkan, karena sudah merambah eksekutif, legislatif, yudikatif maupun swasta.

Dua tahun belakangan ini, negeri ini banjir berita koruptor tertangkap. Mulai sang menteri, ketua partai, dan ketua MK. Ini benar-benar memilukan sekaligus memalukan. Negeri mayoritas muslim yang kaya akan nilai-nilai akhlak, rontok gara-gara ulah segelintir orang. Negeri yang kaya akan adat dan budaya luhur, hilang gara-gara perilaku sebagian kecil orang. Ini harus dicarikan solusi. Polisi, jaksa, dan hakim, bahkan KPK saja belum cukup. Perlu gerakan massal yang melibatkan banyak orang.

Senin, 03 November 2014

Kompetensi itu apa?

Kata kompetensi sering kita baca dan dengar. Apalagi di dunia pendidikan. Hampir setiap hari bisa kita temui. Di setiap buku, baik buku siswa maupun buku pegangan guru selalu mencantumkan kata ini. Dulu sempat beredar KBK (kurikulum berbasis kompetensi), namun tidak berumur panjang. Keberadaannya digantikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP ini pun masih mencantumkan kata kompetensi, buktinya ada istilah SK (standar kompetensi) dan KD (kompetensi dasar). Pada K13, juga masih dimunculkan istilah kompetensi. Walau sudah bermetamorfosis menjadi KI (Kompetensi Inti) sebagai ganti kompetensi dasar.

Kata kompetensi juga sering diperbincangkan, mulai kepala diknas hingga guru-guru di ruang kelas. Apa arti kompetensi itu sesungguhnya? Tidak banyak orang yang tahu. Kebanyakan diartikan secara harfiah, ‘kemampuan”. Menurut UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen untuk menunjang tugas keprofesionalan.

Hasil akhir itu (tidak) penting

Setiap hari, sebelum saya berangkat ke kampus saya sempatkan menengok tanaman saya. Sekitar empat menit saya gunakan untuk menyiram bunga. Bunga – bunga itu tidak mahal. Saya beli hanya sepuluh ribu, dapat 6 bunga plus polibagnya. Tidak mahal karena bunga-bunga itu masih kecil. Walaupun mungil namun sudah tampak bunganya. Tentu bunga yang mungil. Tiga berwarna putih, dan tiga lainnya berwarna ungu.

Istri, teman dan beberapa tetangga sempat ‘protes’. Kenapa beli yang kecil? Gak sekalian aja yang udah langsung besar? Begitu pertanyaan yang sering terlontar. Biasanya saya jawab, saya suka yang kecil, imut dan 'lucu'. Kalaupun ada yang bertanya lebih lanjut, saya jawab dengan senyuman. Sambil dalam hati, berkata, Ngapain kok repot, toh yang beli saya, yang merawat saya, dan yang menikmati juga saya kok. :D