Saat itu ruangan masih gaduh. Semua
peserta pelatihan sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa guru berdiskusi
kecil di pojok kelas. Sementara yang lain ada yang ngobrol, ada yang menyalin
pekerjaan teman. Hingga pukul 07.40 widya iswara belum juga datang. Harusnya acara
pelatihan di BPG (balai Penataran Guru) sudah dimulai jam 07.30. ini pelatihan
hari ke 5. Para peserta sudah mulai jenuh. Menunggu 5 hari berikutnya terasa panjang dan lama.
“Bukan begitu bu, harusnya begini”,
ungkap saya kepada bu Lis, teman satu kelompok dengan saya, sambil tangan saya
corat-coret rumus dan angka di kertas kosong. “Lho kok bisa sih”, timpal ibu Lis.
Saya semakin semangat untuk menjelaskannya. Kepercayaan diri saya muncul dengan
tiba-tiba. Suara kami yang semakin meninggi membuat teman-teman di sebelah ikut
nimbrung. Kertas kecil yang saya corat-coret semakin sulit terlihat. Banyak
kepala yang mencoba melongok kertas itu.
Diskusi semakin panas. Saya tetap
PD. Saya merasa fresh graduate dari perguruan tinggi ternama, malu jika
tidak bisa menjelaskan pelajaran selevel SMP. Sementara yang lain adalah
guru-guru daerah yang usianya jauh di atas saya. Semakin saya jelaskan, mereka manthuk-manhuk.
Tidak tahu maksudnya. Mereka kagum atau tidak mengerti penjelasan saya.
Tiba-tiba seorang bapak,
berkomentar. “Pak, terangkan di papan saja, biar kami semua bisa melihat.” Sejenak
saya agak grogi. Masak harus menerangkan ke guru – guru yang sudah puluhan
tahun mengajar sementara saya setahun saja belum genap. Tapi akhirnya saya
beranikan diri untuk maju. “Iya pak saya coba”, begitu komentar saya. “Bentar,
saya hapuskan dulu”. Kata seorang bapak yang sejak tadi hanya duduk di belakang
tanpa ikut diskusi dengan kami. Usianya belum begitu tua, kira-kira mendekati
40 tahun.
“Terima kasih Pak”. Ucap saya
kepada bapak tersebut. Beliau hanya tersenyum. Setelah itu saya mulai beraksi. Menerangkan secara detil
langkah – demi langkah untuk menyelesaikan soal tadi. Suasana kelas sunyi, hanya
suara saya yang mendominasi. Hampir 35 mata tertuju pada spidol yang menari di atas
whiteboard. Setelah usai menjelaskan, sebagian besar guru yang di ruang itu
diam. Beberapa saya mendengar suara agak lirih, “kok bisa sih?”. “Mungkin ada
yang punya cara lain?”, suara saya memecah kesunyian. Semua masih diam. Berfikir
barangkali.
“Lho pak, bukannya kalau ada 3 ruas
garis dengan ukuran segitu tidak mungkin terbentuk segitiga ya?”, seseorang
yang tadi menghapus papan tulis tiba-tiba menyela. Coba kita praktekkan. Orang itu
berdiri dan mendekat ke arah papan tulis. Lalu dia menggambar tiga garis dan
mencoba untuk menghubungkannya. “Tuh kan gak bisa terbentuk segitiga”. Keringat
dingin mulai mengucur di leher belakang saya. Sejenak saya kebingungan. Tidak menduga
ada koreksi semacam itu. “Iya, tapi secara hitungan kan terbukti bahwa sisi-sisi
segitiga itu bisa di dapat”, elak saya.
Perdebatan saya dengan orang itu
semakin seru. Yang lain hanya melongo, sambil menoleh ke arah saya dan
ke arah orang itu secara bergantian. Saya merasa terdesak. Argumen saya tidak
cukup untuk membenarkan penjelasan saya. Sementara orang itu dengan senyum
khasnya menunjukkan bahwa penjelasan saya ada kelemahannya. Karena ego saya
sudah memuncak, saya tidak terima dengan pendapatnya, dan cenderung
menyalahkannya.
Akhirnya perdebatan itu mereda
dengan sendiri tanpa tahu siapa yang benar. Saya tidak menyadari kalau bapak
yang mendebat saya tadi sudah keluar ruangan. Saya hanya merasakan bahwa sebagian
besar orang di ruangan itu meragukan jawaban saya. Lima menit berikutnya, kelas
menjadi ramai lagi. Semua sibuk ngobrol ke sana kemari. Semua asyik berbincang.
Tinggal saya sendiri yang duduk di pokok belakang, merenungi penjelasan orang
tadi. Dalam hati sempat terbersit, benar juga yaa itu orang itu. Tapi saya
masih mencari-cari kesalahannya.
Jam 08.10, kelas menjadi tertib
saat salah satu peserta pelatihan yang datang terlambat memberi kode. “Sst, hey
gurunya udah datang”. Itu artinya kami siap-siap mengikuti pelatihan lanjutan. Bisanya
menjemukan. Saya mendengar langkah Widya Iswara memasuki ruangan. Tapi saya
masih kepikiran dengan peristiwa perdebatan tadi.
Hah, jantung saya seakan
berhenti. Retina mata saya akomodasikan maksimum. Seakan tidak percaya apa
yang saya lihat. Ternyata widya iswara itu adalah oarang yang meluruskan
penjelasan saya di depan guru lain beberapa menit yang lalu. Dia pula yang
menghapus papan tulis sebelum saya menuliskan jawaban saya yang diragukan teman
guru lain. Semua peserta kaget. Apalagi saya. Rasa malu luar biasa. Tanpa dikomando
semua mata giliran melihat saya. Dan seketika
itu saya menduduk. Penjelasan widya iswara ini luar biasa. Runtut dan
tidak membuat peserta mengantuk. Tapi saya tidak berani menatap widya iswara tersebut
hingga sesi pelatihan berakhir saat break.
Untuk menebus rasa bersalah
salah, walau sebenarnya lapar, saya tidak ke kantin. Selera makan saya hilang. Sebagai
gantinya saya ke musholla duluan. Ambil wudlu dan sholat. Setelah dzikir
sehabis sholat. Saya duduk – duduk di serambi. Saya di kejutkan dengan tepukan
tangan teman di pundak saya. “Sudah nggak usah dipikir”. “Instropeksi saja”. Makanya
ojo rumongso iso, iso o rumongso (jangan merasa bisa, bisa lah
merasa), begitu kata teman saya. Keesokan harinya saya beranikan diri meminta
maaf kepada widya iswara tadi. Seperti biasa dia hanya tersenyum. Senyum yang
menyejukkan. Kemudian dia berujar, “ndak apa-apa”. “Saya Cuma ingin tahu gimana
sih rasanya menjadi peserta”. Saya balas dengan senyum dan berucap, “sekali
lagi maafkan saya”.
Tulisan ini diikutsertakan dalam Kontes GA Sadar Hati~Bahasa Daerah Harus Diminati
Dimaafkan...
BalasHapustolong di perhatikan lagi posnya, mungkin ADA pengetikan yang kurang benar ...
BalasHapusoke, terima kasih koreksinya
BalasHapus