Selasa, 30 September 2014

Ojo rumongso iso, iso o rumongso

Saat itu ruangan masih gaduh. Semua peserta pelatihan sibuk dengan tugas masing-masing. Beberapa guru berdiskusi kecil di pojok kelas. Sementara yang lain ada yang ngobrol, ada yang menyalin pekerjaan teman. Hingga pukul 07.40 widya iswara belum juga datang. Harusnya acara pelatihan di BPG (balai Penataran Guru) sudah dimulai jam 07.30. ini pelatihan hari ke 5. Para peserta sudah mulai jenuh. Menunggu 5  hari berikutnya terasa panjang dan lama.

“Bukan begitu bu, harusnya begini”, ungkap saya kepada bu Lis, teman satu kelompok dengan saya, sambil tangan saya corat-coret rumus dan angka di kertas kosong. “Lho kok bisa sih”, timpal ibu Lis. Saya semakin semangat untuk menjelaskannya. Kepercayaan diri saya muncul dengan tiba-tiba. Suara kami yang semakin meninggi membuat teman-teman di sebelah ikut nimbrung. Kertas kecil yang saya corat-coret semakin sulit terlihat. Banyak kepala yang mencoba melongok kertas itu.

Diskusi semakin panas. Saya tetap PD. Saya merasa fresh graduate dari perguruan tinggi ternama, malu jika tidak bisa menjelaskan pelajaran selevel SMP. Sementara yang lain adalah guru-guru daerah yang usianya jauh di atas saya. Semakin saya jelaskan, mereka manthuk-manhuk. Tidak tahu maksudnya. Mereka kagum atau tidak mengerti penjelasan saya.

Tiba-tiba seorang bapak, berkomentar. “Pak, terangkan di papan saja, biar kami semua bisa melihat.” Sejenak saya agak grogi. Masak harus menerangkan ke guru – guru yang sudah puluhan tahun mengajar sementara saya setahun saja belum genap. Tapi akhirnya saya beranikan diri untuk maju. “Iya pak saya coba”, begitu komentar saya. “Bentar, saya hapuskan dulu”. Kata seorang bapak yang sejak tadi hanya duduk di belakang tanpa ikut diskusi dengan kami. Usianya belum begitu tua, kira-kira mendekati 40 tahun.

“Terima kasih Pak”. Ucap saya kepada bapak tersebut. Beliau hanya tersenyum. Setelah itu saya  mulai beraksi. Menerangkan secara detil langkah – demi langkah untuk menyelesaikan soal tadi. Suasana kelas sunyi, hanya suara saya yang mendominasi. Hampir 35 mata tertuju pada spidol yang menari di atas whiteboard. Setelah usai menjelaskan, sebagian besar guru yang di ruang itu diam. Beberapa saya mendengar suara agak lirih, “kok bisa sih?”. “Mungkin ada yang punya cara lain?”, suara saya memecah kesunyian. Semua masih diam. Berfikir barangkali.

“Lho pak, bukannya kalau ada 3 ruas garis dengan ukuran segitu tidak mungkin terbentuk segitiga ya?”, seseorang yang tadi menghapus papan tulis tiba-tiba menyela. Coba kita praktekkan. Orang itu berdiri dan mendekat ke arah papan tulis. Lalu dia menggambar tiga garis dan mencoba untuk menghubungkannya. “Tuh kan gak bisa terbentuk segitiga”. Keringat dingin mulai mengucur di leher belakang saya. Sejenak saya kebingungan. Tidak menduga ada koreksi semacam itu. “Iya, tapi secara hitungan kan terbukti bahwa sisi-sisi segitiga itu bisa di dapat”, elak saya.

Perdebatan saya dengan orang itu semakin seru. Yang lain hanya melongo, sambil menoleh ke arah saya dan ke arah orang itu secara bergantian. Saya merasa terdesak. Argumen saya tidak cukup untuk membenarkan penjelasan saya. Sementara orang itu dengan senyum khasnya menunjukkan bahwa penjelasan saya ada kelemahannya. Karena ego saya sudah memuncak, saya tidak terima dengan pendapatnya, dan cenderung menyalahkannya.

Akhirnya perdebatan itu mereda dengan sendiri tanpa tahu siapa yang benar. Saya tidak menyadari kalau bapak yang mendebat saya tadi sudah keluar ruangan. Saya hanya merasakan bahwa sebagian besar orang di ruangan itu meragukan jawaban saya. Lima menit berikutnya, kelas menjadi ramai lagi. Semua sibuk ngobrol ke sana kemari. Semua asyik berbincang. Tinggal saya sendiri yang duduk di pokok belakang, merenungi penjelasan orang tadi. Dalam hati sempat terbersit, benar juga yaa itu orang itu. Tapi saya masih mencari-cari kesalahannya.

Jam 08.10, kelas menjadi tertib saat salah satu peserta pelatihan yang datang terlambat memberi kode. “Sst, hey gurunya udah datang”. Itu artinya kami siap-siap mengikuti pelatihan lanjutan. Bisanya menjemukan. Saya mendengar langkah Widya Iswara memasuki ruangan. Tapi saya masih kepikiran dengan peristiwa perdebatan tadi.

Hah, jantung saya seakan berhenti. Retina mata saya akomodasikan maksimum. Seakan tidak percaya apa yang saya lihat. Ternyata widya iswara itu adalah oarang yang meluruskan penjelasan saya di depan guru lain beberapa menit yang lalu. Dia pula yang menghapus papan tulis sebelum saya menuliskan jawaban saya yang diragukan teman guru lain. Semua peserta kaget. Apalagi saya. Rasa malu luar biasa. Tanpa dikomando semua mata giliran melihat saya. Dan seketika  itu saya menduduk. Penjelasan widya iswara ini luar biasa. Runtut dan tidak membuat peserta mengantuk. Tapi saya tidak berani menatap widya iswara tersebut hingga sesi pelatihan berakhir saat break.


Untuk menebus rasa bersalah salah, walau sebenarnya lapar, saya tidak ke kantin. Selera makan saya hilang. Sebagai gantinya saya ke musholla duluan. Ambil wudlu dan sholat. Setelah dzikir sehabis sholat. Saya duduk – duduk di serambi. Saya di kejutkan dengan tepukan tangan teman di pundak saya. “Sudah nggak usah dipikir”. “Instropeksi saja”. Makanya ojo rumongso iso, iso o rumongso (jangan merasa bisa, bisa lah merasa), begitu kata teman saya. Keesokan harinya saya beranikan diri meminta maaf kepada widya iswara tadi. Seperti biasa dia hanya tersenyum. Senyum yang menyejukkan. Kemudian dia berujar, “ndak apa-apa”. “Saya Cuma ingin tahu gimana sih rasanya menjadi peserta”. Saya balas dengan senyum dan berucap, “sekali lagi maafkan saya”.



Tulisan ini diikutsertakan dalam Kontes GA Sadar Hati~Bahasa Daerah Harus Diminati

3 komentar: