Senin, 22 September 2014

Mendidik : Mau?


Semua orang bisa mengajar. Tapi tidak semua pengajar bisa mendidik. Sering kita temui obrolan di dunia guru terlontar kalimat seperti ini: bapak mengajar dimana? Kalau ibu mengajar di sekolah apa? Dan seterusnya dan seterusnya. Mengapa tidak pernah kita jumpai pertanyaan: bapak mendidik dimana? Atau ibu mendidik di sekolah mana? Pada pertemuan guru (KKG maupun MGMP), pertemuan dengan dinas, pertemuan dengan wali murid, siswa sering di sebut anak didik atau peserta didik bukan anak ajar atau peserta ajar.

Ini semua tidak terlepas dari mindset masyarakat. Yang dinamakan guru itu yaa mengajar. Mentranfer ilmu. Membuat siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Padahal sesungguhnya yang penting adalah metransfer value. Banyak guru berkilah, mendidik adalah tugas orang tua. Kalau ada anak nakal, guru sering berkilah, ini orang tua salah mendidiknya. Padahal kita tahu banyak sekolah yang menerapkan full day. Interaksi siwa lebih banyak dengan guru daripada orang tua. Mulai pagi hingga sore. Sampai di rumah sudah menjelang malam, biasanya sudah capek dan terus istirahat.

Kita paham, pengetahuan yang dimiliki guru bisa dipindahkan ke murid. Kompetensi apapun bisa diajarkan. Bahkan bisa diduplikasi dengan mudah. Tetapi akhlak itu tidak bisa diajarkan. Yang bisa hanya ditularkan. Guru tidak bisa menyuruh siswa untuk berperilaku baik. Guru hanya bisa mengajak siswa berperilaku baik. Konsekuensinya sebelum siswa melakukan, guru harus melakukannya terlebih dahulu.

Dalam dunia mendidik, salah satu aktivitasnya adalah mengajar. Tetapi dalam mengajar belum tentu ada unsur mendidik. Kalau hanya teknik mengajar yang baik, orang ateis bisa melakukan lebih baik. Mereka mempunyai lebih banyak metode, strategi dan pendekatan. Tapi jiwanya kering dan jauh dari nilai-nilai moral. Karena akhlak dianggap urusan masing-masing.

Oleh karenanya, sebaiknya mulai sekarang kita menyebut mendidik bukan mengajar. Apalagi yang ada hanya dinas pendidikan bukan dinas pengajaran. Hingga kini yang ada kemendiknas bukan kemenjarnas. Andai pergeseran kata itu memasyarakat, tentu dampaknya luar biasa. Perilaku guru sedikit banyak bisa jadi panutan. Digugu lan ditiru. Saatnya sekarang kita yang memulai, mulai guru senior, guru yunior dan calon guru. Siapkah kita jadi pendidik, bukan pengajar?

2 komentar:

  1. tidak semua guru bisa melakukan semua hal itu. yang ada cuma bisa mengajar dan gak bisa mendidik. saya bertekad meluruskan semua hal itu,amien....3x....do'akan saja....
    (azhil pamex's)

    BalasHapus
  2. ya Allah, jadikan Azhil pendidik yang baik hati, tulus dalam menyebarkan ilmu MU, dan menjadi teladan bagi anak didiknya kelak.

    BalasHapus