Nama yang
unik, Pondok Rusak. Dusun kecil yang subur dan dikelilingi kebun tebu. Di dusun
ini pula melintas sungai yang airnya berasal dari gunung semeru. Jalan utama
Probolinggo – Jember membelah dusun ini. Dinamakan Pondok Rusak, konon katanya
dulu pernah ada pondok yang ditinggal para santrinya mengembara dan tidak
kembali. Hingga akhirnya rusak. Warga dusun ini mayoritas berbahasa madura.
Populasi makin sesak saat dusun ini dibanjiri pengungsi Sampit.
Di daerah
inilah jalan hidup saya sebagai guru dimulai. Selepas kuliah, saya ikut program
nasional yang menempatkan mahasiswa fresh
graduate di seluruh pelosok nusantara. Program ini ada di zaman presiden BJ
Habibi, yang menginginkan percepatan pembangunan. Operator program ini adalah
Deptan dan Depkop dengan IPB sebagai konsultan utamanya. Setelah mengikuti
tahapan seleksi dan pelatihan, akhirnya saya
ditempatkan di dusun tersebut. Dusun Pondok Rusak, Desa Kaliboto
Kidul, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten
Lumajang.
Tugas utama
saya di program itu adalah sebagai pendamping para petani. Bersama dengan para
penyuluh dan mantri pertanian, saya keliling dari sawah satu ke sawah lainnya.
Dari gubuk satu ke gubuk lainnya. Dari Poktan (kelompok tani) ke poktan yang
lain. Saya mendampingi para petani mulai dari pengadaan bibit unggul, pengadaan
pupuk,sampai pemasaran padinya. Ini tidak terlalu sulit bagiku, karena mulai
kecil sudah terbiasa bergelut dengan lumpur sawah dan tiduran di atas jerami
Namun tugas berikutnya yang agak susah adalah menghidupkan kembali KUD yang
saat itu hampir kolaps.
Rumah yang
saya tempati, adalah rumah kontrakan di samping KUD BAROKA. Sengaja nama BAROKA
tanpa huruf H karena itu singkatan dari nama desa di wilayah KUD itu, yaitu
Banyu Putih Kidul, Rojopolo, dan Kaliboto Kidul. Rumah sederhana, kecil,dan
usang karena 3 tahun sebelumnya tidak berpenghuni. KUD di sampingnya pun nasibnya tidak kalah usang
dengan ‘pondok’ saya. KUD ini hanya sedikit agak ramai saat panen padi dan awal
bulan saat ramai pembayaran rekening listrik. Selebihnya sepi. Justru yang
ramai adalah pondok saya. Setiap sore banyak anak-anak seusia SD. Mereka minta
diajari PR. Saya tidak tahu kenapa saya menjadi magnet bagi mereka. Mungkin di
anggap pinter. Maklum di daerah itu makhluk yang bernama mahasiswa masih asing.
Selepas maghrib, para pemuda yang gantian mengunjungi pondok saya. Gak ada
belajar, cuma ngobrol, main kartu, catur, dan karambol. Malamnya giliran para
bapak-bapak yang nimbrung di pondokan saya. Sampai akhirnya saya dipercaya
sebagai ketua panitia pemilihan BPD periode itu.
Saking
seringnya, akhirnya saya lebih dikenal sebagai guru daripada sebagai tenaga
pendamping petani. Guru yang punya banyak murid tapi tanpa sekolahan. Ngajarnya
enak, cepet mudeng, kata mereka. Beberapa bulan berikutnya saya didatangi guru
SD, diminta membantu mengajar bahasa inggris. Saat itu sangat jarang guru
bahasa inggris di SD. Ini bermula karena anak sang guru tersebut sering minta
diajari saya daripada bapaknya sendiri. Bulan berikutnya saya malah banjir
tawaran. Saya hanya kabulkan 4 SD, yaitu
dua SD di Rojopolo, Kaliboto, dan Rowo Kol. Lebih celakanya lagi saya diminta
mengajar tambahan kelas 6, setelah mereka tahu saya lebih pinter matematika
daripada bahasa inggris.
Tidak beberapa
lama, saya diminta membantu mengajar di SMP Muhammadiyah 2 Jatiroto. Peran saya
mengajar di SD digantikan istri saya. Sekolah ini agak menyeramkan, karena
gedung nya bekas bangunan belanda yang usianya ratusan tahun. Lokasinya ada di
dalam wilayah tanah persil, tanah di komplek pabrik tebu tertua di PTPN IX. Separuh
dinding nya basah hingga banyak ditumbuhi lumut. Dipojok atas ruang kelas malah
banyak menggantung sarang burung walet. Namun widya iswara LPMP Surabaya sempat
terkesima ketika saya menjadi peserta terbaik peserta pelatihan mewakili
sekolah muhammadiyah tersebut.
Seusai kontrak
kerja sebagai pendamping selesai, harusnya saya pulang kampung. Namun saya agak
di gandholi warga setempat. Saya
tidak boleh kemana-mana, kata mereka. Selain saya jadi ketua Remas, saya juga
dibutuhkan mengajari anak-anak mereka. Bahkan saya dipasrahi mengajar kejar
paket A di daerah ujung Desa Rowo Kol yang jaraknya tidak kurang 10 km. Rasa
letih mengayuh sepeda pancal menjadi sirna manakala menyaksikan mereka dengan
sabar menunggu kedatangan saya. Saya bisa merasakan bagaimana mereka haus akan
ilmu. Sementara hari-hari sekolah, mereka habiskan di ladang kebun tebu. Walau
kadang yang diminta hanya game dan cerita-cerita saja. Namun saya merasakan kepuasan tersendiri
manakala mereka bisa tertawa dan paham akan sesuatu.
Rumah
kontrakan sebagai sanggar belajar, senyum ceria anak-anak SD di pelosok,
antusiame siswa di SMP muhammadiyah, semangat belajar anak-anak di kejar paket
A, membuat saya semakin jatuh cinta pada dunia mengajar. Pekerjaan sebagai
fasilitator di kecamatan, akhirnya tidak saya teruskan setelah urusan proyek
selesai. Mendampingi belajar anak-anak jauh lebih mengasyikkan daripada
bergelut dengan dunia kontraktor yang cenderung licik, culas, dan banyak tipu
muslihat.
Empat tahun saya di Pondok
Rusak, akhirnya saya mendapat panggilan untuk mutasi ke sekolah SD Muhammadiyah
7 Surabaya. Tidak jauh berbeda keadaan sekolah dan siswa-siswanya. Bedanya
hanya, kalau sebelumnya di pelosok desa, sekarang ada di tengah kota. Yang agak susah adalah berusaha adaptasi
aliran, yang sebelumnya banyak nuansa NU sekarang menjadi Muhammadiyah. Di
Lumajang, walau sempat mengajar di SMP Muhammadiyah, namun lingkungan pondokan
saya sangat kental nuansa NU nya.
Sampai suatu saat saya
dipertemukan Allah oleh salah seorang hebat di mata saya. Beliau saat itu sudah
jadi konsultan pendidikan. Beliau membimbing kami, guru-guru SD Muhammadiyah 7
dengan telaten, sabar dan sungguh-sungguh. Wajah keikhlasan selalu terpancar
dari beliau. Kata-kata yang dipilih ketika memberikan pembinaan sungguh
mempesona saya dan menggunjam di hati kami. Hingga dalam hati saya berkata, saya
ingin seperti dia. Beliau adalah Ustad Akhmad Hariyadi. Beberapa waktu
sesudahnya saya mendapati lowongan guru matematika SMP Al hikmah dari koran Jawa Pos. Dan benar,
setelah melewati tahapan seleksi, akhirnya saya diterima sebagai guru di SMP Al
Hikmah Surabaya, tempat dimana ustad Akhmad Hariyadi pernah mengajar.
Nama yang
unik, Pondok Rusak. Dusun kecil yang subur dan dikelilingi kebun tebu. Di dusun
ini pula melintas sungai yang airnya berasal dari gunung semeru. Jalan utama
Probolinggo – Jember membelah dusun ini. Dinamakan Pondok Rusak, konon katanya
dulu pernah ada pondok yang ditinggal para santrinya mengembara dan tidak
kembali. Hingga akhirnya rusak. Warga dusun ini mayoritas berbahasa madura.
Populasi makin sesak saat dusun ini dibanjiri pengungsi Sampit.
Di daerah
inilah jalan hidup saya sebagai guru dimulai. Selepas kuliah, saya ikut program
nasional yang menempatkan mahasiswa fresh
graduate di seluruh pelosok nusantara. Program ini ada di zaman presiden BJ
Habibi, yang menginginkan percepatan pembangunan. Operator program ini adalah
Deptan dan Depkop dengan IPB sebagai konsultan utamanya. Setelah mengikuti
tahapan seleksi dan pelatihan, akhirnya saya
ditempatkan di dusun tersebut. Dusun Pondok Rusak, Desa Kaliboto
Kidul, Kecamatan Jatiroto, Kabupaten
Lumajang.
Tugas utama
saya di program itu adalah sebagai pendamping para petani. Bersama dengan para
penyuluh dan mantri pertanian, saya keliling dari sawah satu ke sawah lainnya.
Dari gubuk satu ke gubuk lainnya. Dari Poktan (kelompok tani) ke poktan yang
lain. Saya mendampingi para petani mulai dari pengadaan bibit unggul, pengadaan
pupuk,sampai pemasaran padinya. Ini tidak terlalu sulit bagiku, karena mulai
kecil sudah terbiasa bergelut dengan lumpur sawah dan tiduran di atas jerami
Namun tugas berikutnya yang agak susah adalah menghidupkan kembali KUD yang
saat itu hampir kolaps.
Rumah yang
saya tempati, adalah rumah kontrakan di samping KUD BAROKA. Sengaja nama BAROKA
tanpa huruf H karena itu singkatan dari nama desa di wilayah KUD itu, yaitu
Banyu Putih Kidul, Rojopolo, dan Kaliboto Kidul. Rumah sederhana, kecil,dan
usang karena 3 tahun sebelumnya tidak berpenghuni. KUD di sampingnya pun nasibnya tidak kalah usang
dengan ‘pondok’ saya. KUD ini hanya sedikit agak ramai saat panen padi dan awal
bulan saat ramai pembayaran rekening listrik. Selebihnya sepi. Justru yang
ramai adalah pondok saya. Setiap sore banyak anak-anak seusia SD. Mereka minta
diajari PR. Saya tidak tahu kenapa saya menjadi magnet bagi mereka. Mungkin di
anggap pinter. Maklum di daerah itu makhluk yang bernama mahasiswa masih asing.
Selepas maghrib, para pemuda yang gantian mengunjungi pondok saya. Gak ada
belajar, cuma ngobrol, main kartu, catur, dan karambol. Malamnya giliran para
bapak-bapak yang nimbrung di pondokan saya. Sampai akhirnya saya dipercaya
sebagai ketua panitia pemilihan BPD periode itu.
Saking
seringnya, akhirnya saya lebih dikenal sebagai guru daripada sebagai tenaga
pendamping petani. Guru yang punya banyak murid tapi tanpa sekolahan. Ngajarnya
enak, cepet mudeng, kata mereka. Beberapa bulan berikutnya saya didatangi guru
SD, diminta membantu mengajar bahasa inggris. Saat itu sangat jarang guru
bahasa inggris di SD. Ini bermula karena anak sang guru tersebut sering minta
diajari saya daripada bapaknya sendiri. Bulan berikutnya saya malah banjir
tawaran. Saya hanya kabulkan 4 SD, yaitu
dua SD di Rojopolo, Kaliboto, dan Rowo Kol. Lebih celakanya lagi saya diminta
mengajar tambahan kelas 6, setelah mereka tahu saya lebih pinter matematika
daripada bahasa inggris.
Tidak beberapa
lama, saya diminta membantu mengajar di SMP Muhammadiyah 2 Jatiroto. Peran saya
mengajar di SD digantikan istri saya. Sekolah ini agak menyeramkan, karena
gedung nya bekas bangunan belanda yang usianya ratusan tahun. Lokasinya ada di
dalam wilayah tanah persil, tanah di komplek pabrik tebu tertua di PTPN IX. Separuh
dinding nya basah hingga banyak ditumbuhi lumut. Dipojok atas ruang kelas malah
banyak menggantung sarang burung walet. Namun widya iswara LPMP Surabaya sempat
terkesima ketika saya menjadi peserta terbaik peserta pelatihan mewakili
sekolah Muhammadiyah tersebut.
Seusai kontrak
kerja sebagai pendamping selesai, harusnya saya pulang kampung. Namun saya agak
di gandholi warga setempat. Saya
tidak boleh kemana-mana, kata mereka. Selain saya jadi ketua Remas, saya juga
dibutuhkan mengajari anak-anak mereka. Bahkan saya dipasrahi mengajar kejar
paket A di daerah ujung Desa Rowo Kol yang jaraknya tidak kurang 10 km. Rasa
letih mengayuh sepeda pancal menjadi sirna manakala menyaksikan mereka dengan
sabar menunggu kedatangan saya. Saya bisa merasakan bagaimana mereka haus akan
ilmu. Sementara hari-hari sekolah, mereka habiskan di ladang kebun tebu. Walau
kadang yang diminta hanya game dan cerita-cerita saja. Namun saya merasakan kepuasan tersendiri
manakala mereka bisa tertawa dan paham akan sesuatu.
Rumah
kontrakan sebagai sanggar belajar, senyum ceria anak-anak SD di pelosok,
antusiame siswa di SMP muhammadiyah, semangat belajar anak-anak di kejar paket
A, membuat saya semakin jatuh cinta pada dunia mengajar. Pekerjaan sebagai
fasilitator di kecamatan, akhirnya tidak saya teruskan setelah urusan proyek
selesai. Mendampingi belajar anak-anak jauh lebih mengasyikkan daripada
bergelut dengan dunia kontraktor yang cenderung licik, culas, dan banyak tipu
muslihat.
Empat tahun saya di Pondok
Rusak, akhirnya saya mendapat panggilan untuk mutasi ke sekolah SD Muhammadiyah
7 Surabaya. Tidak jauh berbeda keadaan sekolah dan siswa-siswanya. Bedanya
hanya, kalau sebelumnya di pelosok desa, sekarang ada di tengah kota. Yang agak susah adalah berusaha adaptasi
aliran, yang sebelumnya banyak nuansa NU sekarang menjadi Muhammadiyah. Di
Lumajang, walau sempat mengajar di SMP Muhammadiyah, namun lingkungan pondokan
saya sangat kental nuansa NU nya.
Sampai suatu saat saya
dipertemukan Allah oleh salah seorang hebat di mata saya. Beliau saat itu sudah
jadi konsultan pendidikan. Beliau membimbing kami, guru-guru SD Muhammadiyah 7
dengan telaten, sabar dan sungguh-sungguh. Wajah keikhlasan selalu terpancar
dari beliau. Kata-kata yang dipilih ketika memberikan pembinaan sungguh
mempesona saya dan menggunjam di hati kami. Hingga dalam hati saya berkata, saya
ingin seperti dia. Beliau adalah Ustad Akhmad Hariyadi. Beberapa waktu
sesudahnya saya mendapati lowongan guru matematika SMP Al hikmah dari koran Jawa Pos. Dan benar,
setelah melewati tahapan seleksi, akhirnya saya diterima sebagai guru di SMP Al
Hikmah Surabaya, tempat dimana ustad tersebut pernah mengajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar