Senin, 15 September 2014

Pondok Rusak


Nama yang unik, Pondok Rusak. Dusun kecil yang subur dan dikelilingi kebun tebu. Di dusun ini pula melintas sungai yang airnya berasal dari gunung semeru. Jalan utama Probolinggo – Jember membelah dusun ini. Dinamakan Pondok Rusak, konon katanya dulu pernah ada pondok yang ditinggal para santrinya mengembara dan tidak kembali. Hingga akhirnya rusak. Warga dusun ini mayoritas berbahasa madura. Populasi makin sesak saat dusun ini dibanjiri pengungsi Sampit.
Di daerah inilah jalan hidup saya sebagai guru dimulai. Selepas kuliah, saya ikut program nasional yang menempatkan mahasiswa fresh graduate di seluruh pelosok nusantara. Program ini ada di zaman presiden BJ Habibi, yang menginginkan percepatan pembangunan. Operator program ini adalah Deptan dan Depkop dengan IPB sebagai konsultan utamanya. Setelah mengikuti tahapan seleksi dan pelatihan, akhirnya saya  ditempatkan di dusun tersebut. Dusun Pondok Rusak, Desa Kaliboto Kidul,  Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang.
Tugas utama saya di program itu adalah sebagai pendamping para petani. Bersama dengan para penyuluh dan mantri pertanian, saya keliling dari sawah satu ke sawah lainnya. Dari gubuk satu ke gubuk lainnya. Dari Poktan (kelompok tani) ke poktan yang lain. Saya mendampingi para petani mulai dari pengadaan bibit unggul, pengadaan pupuk,sampai pemasaran padinya. Ini tidak terlalu sulit bagiku, karena mulai kecil sudah terbiasa bergelut dengan lumpur sawah dan tiduran di atas jerami Namun tugas berikutnya yang agak susah adalah menghidupkan kembali KUD yang saat itu hampir kolaps.
Rumah yang saya tempati, adalah rumah kontrakan di samping KUD BAROKA. Sengaja nama BAROKA tanpa huruf H karena itu singkatan dari nama desa di wilayah KUD itu, yaitu Banyu Putih Kidul, Rojopolo, dan Kaliboto Kidul. Rumah sederhana, kecil,dan usang karena 3 tahun sebelumnya tidak berpenghuni. KUD  di sampingnya pun nasibnya tidak kalah usang dengan ‘pondok’ saya. KUD ini hanya sedikit agak ramai saat panen padi dan awal bulan saat ramai pembayaran rekening listrik. Selebihnya sepi. Justru yang ramai adalah pondok saya. Setiap sore banyak anak-anak seusia SD. Mereka minta diajari PR. Saya tidak tahu kenapa saya menjadi magnet bagi mereka. Mungkin di anggap pinter. Maklum di daerah itu makhluk yang bernama mahasiswa masih asing. Selepas maghrib, para pemuda yang gantian mengunjungi pondok saya. Gak ada belajar, cuma ngobrol, main kartu, catur, dan karambol. Malamnya giliran para bapak-bapak yang nimbrung di pondokan saya. Sampai akhirnya saya dipercaya sebagai ketua panitia pemilihan BPD periode itu.
Saking seringnya, akhirnya saya lebih dikenal sebagai guru daripada sebagai tenaga pendamping petani. Guru yang punya banyak murid tapi tanpa sekolahan. Ngajarnya enak, cepet mudeng, kata mereka. Beberapa bulan berikutnya saya didatangi guru SD, diminta membantu mengajar bahasa inggris. Saat itu sangat jarang guru bahasa inggris di SD. Ini bermula karena anak sang guru tersebut sering minta diajari saya daripada bapaknya sendiri. Bulan berikutnya saya malah banjir tawaran. Saya hanya kabulkan  4 SD, yaitu dua SD di Rojopolo, Kaliboto, dan Rowo Kol. Lebih celakanya lagi saya diminta mengajar tambahan kelas 6, setelah mereka tahu saya lebih pinter matematika daripada bahasa inggris.
Tidak beberapa lama, saya diminta membantu mengajar di SMP Muhammadiyah 2 Jatiroto. Peran saya mengajar di SD digantikan istri saya. Sekolah ini agak menyeramkan, karena gedung nya bekas bangunan belanda yang usianya ratusan tahun. Lokasinya ada di dalam wilayah tanah persil, tanah di komplek pabrik tebu tertua di PTPN IX. Separuh dinding nya basah hingga banyak ditumbuhi lumut. Dipojok atas ruang kelas malah banyak menggantung sarang burung walet. Namun widya iswara LPMP Surabaya sempat terkesima ketika saya menjadi peserta terbaik peserta pelatihan mewakili sekolah muhammadiyah tersebut.
Seusai kontrak kerja sebagai pendamping selesai, harusnya saya pulang kampung. Namun saya agak di gandholi warga setempat. Saya tidak boleh kemana-mana, kata mereka. Selain saya jadi ketua Remas, saya juga dibutuhkan mengajari anak-anak mereka. Bahkan saya dipasrahi mengajar kejar paket A di daerah ujung Desa Rowo Kol yang jaraknya tidak kurang 10 km. Rasa letih mengayuh sepeda pancal menjadi sirna manakala menyaksikan mereka dengan sabar menunggu kedatangan saya. Saya bisa merasakan bagaimana mereka haus akan ilmu. Sementara hari-hari sekolah, mereka habiskan di ladang kebun tebu. Walau kadang yang diminta hanya game dan cerita-cerita saja.  Namun saya merasakan kepuasan tersendiri manakala mereka bisa tertawa dan paham akan sesuatu.
Rumah kontrakan sebagai sanggar belajar, senyum ceria anak-anak SD di pelosok, antusiame siswa di SMP muhammadiyah, semangat belajar anak-anak di kejar paket A, membuat saya semakin jatuh cinta pada dunia mengajar. Pekerjaan sebagai fasilitator di kecamatan, akhirnya tidak saya teruskan setelah urusan proyek selesai. Mendampingi belajar anak-anak jauh lebih mengasyikkan daripada bergelut dengan dunia kontraktor yang cenderung licik, culas, dan banyak tipu muslihat.
                Empat tahun saya di Pondok Rusak, akhirnya saya mendapat panggilan untuk mutasi ke sekolah SD Muhammadiyah 7 Surabaya. Tidak jauh berbeda keadaan sekolah dan siswa-siswanya. Bedanya hanya, kalau sebelumnya di pelosok desa, sekarang ada di tengah kota.  Yang agak susah adalah berusaha adaptasi aliran, yang sebelumnya banyak nuansa NU sekarang menjadi Muhammadiyah. Di Lumajang, walau sempat mengajar di SMP Muhammadiyah, namun lingkungan pondokan saya sangat kental nuansa NU nya.
                Sampai suatu saat saya dipertemukan Allah oleh salah seorang hebat di mata saya. Beliau saat itu sudah jadi konsultan pendidikan. Beliau membimbing kami, guru-guru SD Muhammadiyah 7 dengan telaten, sabar dan sungguh-sungguh. Wajah keikhlasan selalu terpancar dari beliau. Kata-kata yang dipilih ketika memberikan pembinaan sungguh mempesona saya dan menggunjam di hati kami. Hingga dalam hati saya berkata, saya ingin seperti dia. Beliau adalah Ustad Akhmad Hariyadi. Beberapa waktu sesudahnya saya mendapati lowongan guru matematika SMP  Al hikmah dari koran Jawa Pos. Dan benar, setelah melewati tahapan seleksi, akhirnya saya diterima sebagai guru di SMP Al Hikmah Surabaya, tempat dimana ustad Akhmad Hariyadi pernah mengajar.
Nama yang unik, Pondok Rusak. Dusun kecil yang subur dan dikelilingi kebun tebu. Di dusun ini pula melintas sungai yang airnya berasal dari gunung semeru. Jalan utama Probolinggo – Jember membelah dusun ini. Dinamakan Pondok Rusak, konon katanya dulu pernah ada pondok yang ditinggal para santrinya mengembara dan tidak kembali. Hingga akhirnya rusak. Warga dusun ini mayoritas berbahasa madura. Populasi makin sesak saat dusun ini dibanjiri pengungsi Sampit.
Di daerah inilah jalan hidup saya sebagai guru dimulai. Selepas kuliah, saya ikut program nasional yang menempatkan mahasiswa fresh graduate di seluruh pelosok nusantara. Program ini ada di zaman presiden BJ Habibi, yang menginginkan percepatan pembangunan. Operator program ini adalah Deptan dan Depkop dengan IPB sebagai konsultan utamanya. Setelah mengikuti tahapan seleksi dan pelatihan, akhirnya saya  ditempatkan di dusun tersebut. Dusun Pondok Rusak, Desa Kaliboto Kidul,  Kecamatan Jatiroto, Kabupaten Lumajang.
Tugas utama saya di program itu adalah sebagai pendamping para petani. Bersama dengan para penyuluh dan mantri pertanian, saya keliling dari sawah satu ke sawah lainnya. Dari gubuk satu ke gubuk lainnya. Dari Poktan (kelompok tani) ke poktan yang lain. Saya mendampingi para petani mulai dari pengadaan bibit unggul, pengadaan pupuk,sampai pemasaran padinya. Ini tidak terlalu sulit bagiku, karena mulai kecil sudah terbiasa bergelut dengan lumpur sawah dan tiduran di atas jerami Namun tugas berikutnya yang agak susah adalah menghidupkan kembali KUD yang saat itu hampir kolaps.
Rumah yang saya tempati, adalah rumah kontrakan di samping KUD BAROKA. Sengaja nama BAROKA tanpa huruf H karena itu singkatan dari nama desa di wilayah KUD itu, yaitu Banyu Putih Kidul, Rojopolo, dan Kaliboto Kidul. Rumah sederhana, kecil,dan usang karena 3 tahun sebelumnya tidak berpenghuni. KUD  di sampingnya pun nasibnya tidak kalah usang dengan ‘pondok’ saya. KUD ini hanya sedikit agak ramai saat panen padi dan awal bulan saat ramai pembayaran rekening listrik. Selebihnya sepi. Justru yang ramai adalah pondok saya. Setiap sore banyak anak-anak seusia SD. Mereka minta diajari PR. Saya tidak tahu kenapa saya menjadi magnet bagi mereka. Mungkin di anggap pinter. Maklum di daerah itu makhluk yang bernama mahasiswa masih asing. Selepas maghrib, para pemuda yang gantian mengunjungi pondok saya. Gak ada belajar, cuma ngobrol, main kartu, catur, dan karambol. Malamnya giliran para bapak-bapak yang nimbrung di pondokan saya. Sampai akhirnya saya dipercaya sebagai ketua panitia pemilihan BPD periode itu.
Saking seringnya, akhirnya saya lebih dikenal sebagai guru daripada sebagai tenaga pendamping petani. Guru yang punya banyak murid tapi tanpa sekolahan. Ngajarnya enak, cepet mudeng, kata mereka. Beberapa bulan berikutnya saya didatangi guru SD, diminta membantu mengajar bahasa inggris. Saat itu sangat jarang guru bahasa inggris di SD. Ini bermula karena anak sang guru tersebut sering minta diajari saya daripada bapaknya sendiri. Bulan berikutnya saya malah banjir tawaran. Saya hanya kabulkan  4 SD, yaitu dua SD di Rojopolo, Kaliboto, dan Rowo Kol. Lebih celakanya lagi saya diminta mengajar tambahan kelas 6, setelah mereka tahu saya lebih pinter matematika daripada bahasa inggris.
Tidak beberapa lama, saya diminta membantu mengajar di SMP Muhammadiyah 2 Jatiroto. Peran saya mengajar di SD digantikan istri saya. Sekolah ini agak menyeramkan, karena gedung nya bekas bangunan belanda yang usianya ratusan tahun. Lokasinya ada di dalam wilayah tanah persil, tanah di komplek pabrik tebu tertua di PTPN IX. Separuh dinding nya basah hingga banyak ditumbuhi lumut. Dipojok atas ruang kelas malah banyak menggantung sarang burung walet. Namun widya iswara LPMP Surabaya sempat terkesima ketika saya menjadi peserta terbaik peserta pelatihan mewakili sekolah Muhammadiyah tersebut.
Seusai kontrak kerja sebagai pendamping selesai, harusnya saya pulang kampung. Namun saya agak di gandholi warga setempat. Saya tidak boleh kemana-mana, kata mereka. Selain saya jadi ketua Remas, saya juga dibutuhkan mengajari anak-anak mereka. Bahkan saya dipasrahi mengajar kejar paket A di daerah ujung Desa Rowo Kol yang jaraknya tidak kurang 10 km. Rasa letih mengayuh sepeda pancal menjadi sirna manakala menyaksikan mereka dengan sabar menunggu kedatangan saya. Saya bisa merasakan bagaimana mereka haus akan ilmu. Sementara hari-hari sekolah, mereka habiskan di ladang kebun tebu. Walau kadang yang diminta hanya game dan cerita-cerita saja.  Namun saya merasakan kepuasan tersendiri manakala mereka bisa tertawa dan paham akan sesuatu.
Rumah kontrakan sebagai sanggar belajar, senyum ceria anak-anak SD di pelosok, antusiame siswa di SMP muhammadiyah, semangat belajar anak-anak di kejar paket A, membuat saya semakin jatuh cinta pada dunia mengajar. Pekerjaan sebagai fasilitator di kecamatan, akhirnya tidak saya teruskan setelah urusan proyek selesai. Mendampingi belajar anak-anak jauh lebih mengasyikkan daripada bergelut dengan dunia kontraktor yang cenderung licik, culas, dan banyak tipu muslihat.
                Empat tahun saya di Pondok Rusak, akhirnya saya mendapat panggilan untuk mutasi ke sekolah SD Muhammadiyah 7 Surabaya. Tidak jauh berbeda keadaan sekolah dan siswa-siswanya. Bedanya hanya, kalau sebelumnya di pelosok desa, sekarang ada di tengah kota.  Yang agak susah adalah berusaha adaptasi aliran, yang sebelumnya banyak nuansa NU sekarang menjadi Muhammadiyah. Di Lumajang, walau sempat mengajar di SMP Muhammadiyah, namun lingkungan pondokan saya sangat kental nuansa NU nya.

                Sampai suatu saat saya dipertemukan Allah oleh salah seorang hebat di mata saya. Beliau saat itu sudah jadi konsultan pendidikan. Beliau membimbing kami, guru-guru SD Muhammadiyah 7 dengan telaten, sabar dan sungguh-sungguh. Wajah keikhlasan selalu terpancar dari beliau. Kata-kata yang dipilih ketika memberikan pembinaan sungguh mempesona saya dan menggunjam di hati kami. Hingga dalam hati saya berkata, saya ingin seperti dia. Beliau adalah Ustad Akhmad Hariyadi. Beberapa waktu sesudahnya saya mendapati lowongan guru matematika SMP  Al hikmah dari koran Jawa Pos. Dan benar, setelah melewati tahapan seleksi, akhirnya saya diterima sebagai guru di SMP Al Hikmah Surabaya, tempat dimana ustad tersebut pernah mengajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar