Setiap hari, sebelum saya
berangkat ke kampus saya sempatkan menengok tanaman saya. Sekitar empat menit
saya gunakan untuk menyiram bunga. Bunga – bunga itu tidak mahal. Saya beli
hanya sepuluh ribu, dapat 6 bunga plus polibagnya. Tidak mahal karena bunga-bunga
itu masih kecil. Walaupun mungil namun sudah tampak bunganya. Tentu bunga yang
mungil. Tiga berwarna putih, dan tiga lainnya berwarna ungu.
Istri, teman dan beberapa
tetangga sempat ‘protes’. Kenapa beli yang kecil? Gak sekalian aja yang udah
langsung besar? Begitu pertanyaan yang sering terlontar. Biasanya saya jawab,
saya suka yang kecil, imut dan 'lucu'. Kalaupun ada yang bertanya lebih lanjut,
saya jawab dengan senyuman. Sambil dalam hati, berkata, Ngapain kok repot, toh yang beli saya, yang merawat saya, dan yang
menikmati juga saya kok. :D
Kalau saya beli yang kecil, bukan
berarti saya tidak sanggup membeli yang besar. Karena rumah saya kecil, tentu
tidak proporsional antara halaman depan dengan bunga. Namun ada alasan mendasar
mengapa saya memilih begitu, walau berbeda pendapat dengan teman dan tetangga
saya. Alasan utamanya adalah: saya menyukai proses, bukan hasil. Setiap hari
saya bisa merasakan tumbuh kembang si bunga. Ada kepuasan tersendiri, ketika
daun-daun mulai melebar dan batang mulai meninggi. Oleh karenanya sehabis
menyiram, selalu saya mencoba tersenyum pada bunga-bunga itu. Sepertinya mereka
paham. Saya yakin, seandainya mereka bisa bicara, pasti yang saya dengar setiap
pagi adalah ucapan terima kasih.
Hal yang sama juga saya rasakan,
ketika saya mengajar di depan kelas. Saya tidak begitu suka, jika ada siswa
menjawab soal matematika saya secara ‘langsung’. Ketika saya tanya darimana?. Biasanya
dia agak kerepotan menjawab, kalaupun bersuara, biasanya struktur kalimatnya
sulit dimengerti. Paling sering, kalau kehabisan kata-kata, dia menjawab
pokoknya begitu. Iya, pokoknya gitu. Makanya saya lebih menyukai siswa yang
menjawab dengan runtut. Walau ini membutuhkan waktu agak lama, namun
sesungguhnya dia bisa menuangkan idenya secara lebih sistematis. Orang lainpun
(teman dan guru) menjadi paham, apa yang dimaksud si anak. Kalaupun jawabannya
salah, tidak jadi soal. Kita lebih mudah menunjukkan, langkah mana yang salah
sehingga hasil akhirnya juga salah.
Cara yang sama juga saya terapkan
ke mahasiswa. Kalau ada soal yang di rasa sulit. Saya pilih salah satu
mahasiswa untuk mengerjakan di whiteboard. Tidak sekedar memilih mahasiswa,
tapi saya pilihkan yang kira-kira tidak bisa. Dari sorot mata, kelihatan jika
seseorang itu bisa, tidak bisa, ragu-ragu atau bingung. Mengapa dipilih yang
tidak bisa? Karena saya ingin memberi kesempatan yang bersangkutan untuk
belajar ‘private’ dengan saya. Saat dia bingung harus menuliskan apa di
whiteboard, saya tuntun. Saya pancing dengan hal yang dia ketahui,. Kemudian langkah-demi
langkah saya pandu hingga dia menyelesaikan permasalahan. Ini bukan pekerjaan
mudah. Butuh kesabaran level tinggi. Saya harus mengerem keinginan saya untuk tidak
segera memberikan solusi. Saya biarkan dia sampai dia menemukan jawaban. Tentu kadang
dengan bantuan saya. Hal ini dalam teori belajar Vigotsky biasa disebut scaffolding.
Dengan begitu seakan dia belajar tanpa merasa digurui. Teknik ini biasanya
lebih membekas bagi sang mahasiswa tersebut.
Rasa puas tidak hanya dirasakan sang mahasiswa. Tetapi juga saya. Saya sangat
senang (tentu tidak saya ungkapkan dengan ekspresi berlebihan) jika mahasiswa
saya akhirnya bisa menemukan jawaban dengan melalui proses yang panjang tadi. Setiap
langkah yang benar, saya coba tersenyum sambil menanti langkah berikutnya dari
sang mahasiswa. Proses itu saya nikmati tahap demi tahap. Persis dengan ketika saya
nikmati pertumbuhan dan perkembangan bunga di halaman rumah saya tiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar