Senin, 03 November 2014

Hasil akhir itu (tidak) penting

Setiap hari, sebelum saya berangkat ke kampus saya sempatkan menengok tanaman saya. Sekitar empat menit saya gunakan untuk menyiram bunga. Bunga – bunga itu tidak mahal. Saya beli hanya sepuluh ribu, dapat 6 bunga plus polibagnya. Tidak mahal karena bunga-bunga itu masih kecil. Walaupun mungil namun sudah tampak bunganya. Tentu bunga yang mungil. Tiga berwarna putih, dan tiga lainnya berwarna ungu.

Istri, teman dan beberapa tetangga sempat ‘protes’. Kenapa beli yang kecil? Gak sekalian aja yang udah langsung besar? Begitu pertanyaan yang sering terlontar. Biasanya saya jawab, saya suka yang kecil, imut dan 'lucu'. Kalaupun ada yang bertanya lebih lanjut, saya jawab dengan senyuman. Sambil dalam hati, berkata, Ngapain kok repot, toh yang beli saya, yang merawat saya, dan yang menikmati juga saya kok. :D

Kalau saya beli yang kecil, bukan berarti saya tidak sanggup membeli yang besar. Karena rumah saya kecil, tentu tidak proporsional antara halaman depan dengan bunga. Namun ada alasan mendasar mengapa saya memilih begitu, walau berbeda pendapat dengan teman dan tetangga saya. Alasan utamanya adalah: saya menyukai proses, bukan hasil. Setiap hari saya bisa merasakan tumbuh kembang si bunga. Ada kepuasan tersendiri, ketika daun-daun mulai melebar dan batang mulai meninggi. Oleh karenanya sehabis menyiram, selalu saya mencoba tersenyum pada bunga-bunga itu. Sepertinya mereka paham. Saya yakin, seandainya mereka bisa bicara, pasti yang saya dengar setiap pagi adalah ucapan terima kasih.

Hal yang sama juga saya rasakan, ketika saya mengajar di depan kelas. Saya tidak begitu suka, jika ada siswa menjawab soal matematika saya secara ‘langsung’. Ketika saya tanya darimana?. Biasanya dia agak kerepotan menjawab, kalaupun bersuara, biasanya struktur kalimatnya sulit dimengerti. Paling sering, kalau kehabisan kata-kata, dia menjawab pokoknya begitu. Iya, pokoknya gitu. Makanya saya lebih menyukai siswa yang menjawab dengan runtut. Walau ini membutuhkan waktu agak lama, namun sesungguhnya dia bisa menuangkan idenya secara lebih sistematis. Orang lainpun (teman dan guru) menjadi paham, apa yang dimaksud si anak. Kalaupun jawabannya salah, tidak jadi soal. Kita lebih mudah menunjukkan, langkah mana yang salah sehingga hasil akhirnya juga salah.

Cara yang sama juga saya terapkan ke mahasiswa. Kalau ada soal yang di rasa sulit. Saya pilih salah satu mahasiswa untuk mengerjakan di whiteboard. Tidak sekedar memilih mahasiswa, tapi saya pilihkan yang kira-kira tidak bisa. Dari sorot mata, kelihatan jika seseorang itu bisa, tidak bisa, ragu-ragu atau bingung. Mengapa dipilih yang tidak bisa? Karena saya ingin memberi kesempatan yang bersangkutan untuk belajar ‘private’ dengan saya. Saat dia bingung harus menuliskan apa di whiteboard, saya tuntun. Saya pancing dengan hal yang dia ketahui,. Kemudian langkah-demi langkah saya pandu hingga dia menyelesaikan permasalahan. Ini bukan pekerjaan mudah. Butuh kesabaran level tinggi. Saya harus mengerem keinginan saya untuk tidak segera memberikan solusi. Saya biarkan dia sampai dia menemukan jawaban. Tentu kadang dengan bantuan saya. Hal ini dalam teori belajar Vigotsky biasa disebut scaffolding. Dengan begitu seakan dia belajar tanpa merasa digurui. Teknik ini biasanya lebih membekas bagi sang mahasiswa tersebut.

Rasa puas tidak hanya dirasakan sang mahasiswa. Tetapi juga saya. Saya sangat senang (tentu tidak saya ungkapkan dengan ekspresi berlebihan) jika mahasiswa saya akhirnya bisa menemukan jawaban dengan melalui proses yang panjang tadi. Setiap langkah yang benar, saya coba tersenyum sambil menanti langkah berikutnya dari sang mahasiswa. Proses itu saya nikmati tahap demi tahap. Persis dengan ketika saya nikmati pertumbuhan dan perkembangan bunga di halaman rumah saya tiap hari.

Nah, pernahkah Anda merasakan hal yang sama?. Jika belum, silahkan dicoba dan temukan sensasi nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar