Pernahkan Anda berangkat ke
tempat kerja dengan waktu yang ‘ngepres’ alias ‘mepet’? Dampak dari itu,
pastilah Anda terburu-buru menyiapkan diri. Akan sedikit ‘ngebut’ di jalan
raya. Biasanya ‘ngomel’ ketika lampu merah lama berganti hijau. Juga akan
menggerutu ketika jalanan macet akibat ada kereta yang melintas. Klakson akan
mudah kita pencet. Suasana hati tegang, konsentrasi lebih tinggi. Pokoknya
tidak nyaman, tidak nyantai, dan tidak rileks. Kita tahu, hal tersebut tidak
mengenakkan. Anehnya kondisi seperti itu kita ulangi besok, dan besoknya lagi. Itu
artinya kita mengalami kegagalan inhibisi.
Inhibisi adalah upaya
pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu respon tertentu karena adanya
proses respon lain yang sedang berlangsung (Reber, 1988). Menurut artikata.com,
inhibitasi berarti hambatan, larangan, atau pencegahan. Dalam hal belajar, yang
dimaksud inhibisi adalah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan
yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lain yang lebih baik
ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Kemampuan siswa dalam melakukan
inhibisi pada umumnya diperoleh lewat proses belajar. Oleh sebab itu, makna dan
perwujudan perilaku belajar siswa tampak dalam kemampuan melakukan inhibisi
ini. Contoh, seorang siswa yang telah sukses mempelajari bahaya alkohol akan
menghindari membeli minuman keras. Sebagai gantinya ia membeli minuman sehat.
Siswa yang sukses mempelajari bahaya rokok, tentu menghindarinya. Namun jika,
siswa gagal berinhibisi, maka yang terjadi adalah keterpurukan, merugikan
diri sendiri sekaligus lingkungan di sekitar dia. Misal, siswa yang gagal inhibisi,
akan berkata; mana buktinya kalau rokok itu membunuh. Toh, saya terus merokok,
tapi tetap sehat hingga sekarang. Kalimat ‘merokok membunuhmu’ yang selalu ada
di rokok dan iklannya akan menjadi bahan ejekan bagi para perokok tulen.
Di dunia pendidikan juga begitu. Sering
kita jumpai siswa gagal berinhibisi. Sudah tahu datang ‘telat’ ke sekolah itu merugikan,
tetapi itu sulit dihindarkan. Bahkan dilakukan berulang-ulang. Sudah tahu
dampak mencontek atau plagiat itu merusak generasi, tetapi tetap dilestarikan.
Guru pun kadang gagal berinhibisi. Banyak guru tahu efek negatif Ngaji (ngarang
biji), tetapi terus berlanjut dilakukan dari tahun ke tahun, dari generasi ke
generasi. Hanya orang-orang yang bodoh sajalah, yang melakukan kesalahan
berulang-ulang.
Nah, jika kita tidak ingin merugi
terus dalam hidup ini, cobalah terus berusaha jangan sampai kita gagal
inhibisi. Mau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar