Jumat, 14 November 2014

Inhibisi

Pernahkan Anda berangkat ke tempat kerja dengan waktu yang ‘ngepres’ alias ‘mepet’? Dampak dari itu, pastilah Anda terburu-buru menyiapkan diri. Akan sedikit ‘ngebut’ di jalan raya. Biasanya ‘ngomel’ ketika lampu merah lama berganti hijau. Juga akan menggerutu ketika jalanan macet akibat ada kereta yang melintas. Klakson akan mudah kita pencet. Suasana hati tegang, konsentrasi lebih tinggi. Pokoknya tidak nyaman, tidak nyantai, dan tidak rileks. Kita tahu, hal tersebut tidak mengenakkan. Anehnya kondisi seperti itu kita ulangi besok, dan besoknya lagi. Itu artinya kita mengalami kegagalan inhibisi.

Inhibisi adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu respon tertentu karena adanya proses respon lain yang sedang berlangsung (Reber, 1988). Menurut artikata.com, inhibitasi berarti hambatan, larangan, atau pencegahan. Dalam hal belajar, yang dimaksud inhibisi adalah kesanggupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lain yang lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Kemampuan siswa dalam melakukan inhibisi pada umumnya diperoleh lewat proses belajar. Oleh sebab itu, makna dan perwujudan perilaku belajar siswa tampak dalam kemampuan melakukan inhibisi ini. Contoh, seorang siswa yang telah sukses mempelajari bahaya alkohol akan menghindari membeli minuman keras. Sebagai gantinya ia membeli minuman sehat. Siswa yang sukses mempelajari bahaya rokok, tentu menghindarinya. Namun jika, siswa gagal berinhibisi, maka yang terjadi adalah keterpurukan, merugikan diri sendiri sekaligus lingkungan di sekitar dia. Misal, siswa yang gagal inhibisi, akan berkata; mana buktinya kalau rokok itu membunuh. Toh, saya terus merokok, tapi tetap sehat hingga sekarang. Kalimat ‘merokok membunuhmu’ yang selalu ada di rokok dan iklannya akan menjadi bahan ejekan bagi para perokok tulen.

Di dunia pendidikan juga begitu. Sering kita jumpai siswa gagal berinhibisi. Sudah tahu datang ‘telat’ ke sekolah itu merugikan, tetapi itu sulit dihindarkan. Bahkan dilakukan berulang-ulang. Sudah tahu dampak mencontek atau plagiat itu merusak generasi, tetapi tetap dilestarikan. Guru pun kadang gagal berinhibisi. Banyak guru tahu efek negatif Ngaji (ngarang biji), tetapi terus berlanjut dilakukan dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Hanya orang-orang yang bodoh sajalah, yang melakukan kesalahan berulang-ulang.


Nah, jika kita tidak ingin merugi terus dalam hidup ini, cobalah terus berusaha jangan sampai kita gagal inhibisi. Mau?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar