Rabu, 05 November 2014

#StopNgaji

Menurut data Transparency International (TI) tahun 2013, dari 117 negara yang disurvey, Indonesia berada di urutan 64 negara terkorup di dunia. Hasil ini jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga, Singapura yang berada di posisi ke 5 negara paling bersih versi TI. Menurut ketua GOPAC (Global Organization of Parliamentarians Against Corruption) Indonesia, Bapak Pramono Anung, korupsi di negara ini sudah menjadi masalah serius. Sudah sangat mengkhawatirkan, karena sudah merambah eksekutif, legislatif, yudikatif maupun swasta.

Dua tahun belakangan ini, negeri ini banjir berita koruptor tertangkap. Mulai sang menteri, ketua partai, dan ketua MK. Ini benar-benar memilukan sekaligus memalukan. Negeri mayoritas muslim yang kaya akan nilai-nilai akhlak, rontok gara-gara ulah segelintir orang. Negeri yang kaya akan adat dan budaya luhur, hilang gara-gara perilaku sebagian kecil orang. Ini harus dicarikan solusi. Polisi, jaksa, dan hakim, bahkan KPK saja belum cukup. Perlu gerakan massal yang melibatkan banyak orang.

Para koruptor (setidaknya yang sudah tertangkap) adalah orang-orang pandai. Kalau ditanya apakah para koruptor itu nilai raportnya jelek?. Tidak. Rata-rata nilai ijazahnya bagus. Bahkan mungkin sangat bagus. Apalagi yang berstatus guru besar, tentu kaya akan ilmu dan pengetahuan. Mereka membutuhkan proses lama untuk meraih predikat pakar. Pastilah mereka orang-orang hebat dari segi akademis. Mereka pintar dan cerdas. Tapi anehnya, semua itu tidak berkorelasi positif dengan nilai afektifnya.

Memang belum ada data penelitian yang valid. Apakah para koruptor itu nilai kepribadian di raportnya K, alias kurang. Saya belum pernah melihat nilai raport para koruptor. Tapi saya mempunyai keyakinan, kalau sebagian besar nilai kepribadian di raport mereka adalah berpredikat B (Baik), bahkan mungkin SB (sangat baik). Pertanyaan selanjutnya, mengapa sampai terjadi begitu? Banyak faktor kata pengamat. Penulis setuju, jika lingkungan sangat mempengaruhi seseorang. Tapi manusia punya akal dan hati, tentu bisa memilih dan memilah lingkungan. Lingkungan yang baik harusnya diikuti, sementara lingkungan yang kurang baik semestinya dihindari. Bahkan bisa jadi, kita sendiri yang menciptakan lingkungan itu.

Sedikit banyak, mengapa negri ini banyak melahirkan koruptor, adalah karena faktor guru. Gurulah yang membentuk pribadi-pribadi kecil yang hasilnya bisa dirasakan 20 atau 30 tahun kemudian. Kemungkinan besar, guru waktu menilai siswanya tidak otentik. Kecerdasan hanya ditentukan oleh angka-angka. Kepribadian hanya ditentukan oleh pandangan sepintas di akhir semester atau di akhir studi. Tanpa ada rubrik yang jelas. Apa indikatornya siswa dapat nilai SB, B, C, atau K.  Guru melabeli siswa hanya dengan perasaan tidak berdasarkan fakta dan data.

Umumnya (dan hingga kini kita masih banyak dijumpai), guru menilai peserta didik hanya pada level kognitif saja. Sementara afektif dan psikomotor diabaikan begitu saja. Guru menjastifikasi murid baik hanya dari akumulasi nilai UH, UTS, UAS dan UN saja. Nilai afektif (sikap) dan psikomotor biasanya di kira-kira. Istilah umumnya, NGAJI (ngarang biji).  Hal itu dianggap lumrah, wajar, dan bukan rahasia lagi. Kadang itu dilakukan tanpa merasa bersalah. Padahal justru nilai afektif itulah yang penting, yang sangat kelihatan dampaknya di masyarakat.


Sudah saatnya sekarang para guru menghentikan kebiasaan ini. Kalau perlu, sudah waktunya diadakan “Mahkamah Guru’, yang akan mengadili sang guru jika melakukan ‘malpraktek’. Kode etik profesi guru harus ditegakkan, setegak-tegaknya. Oleh karenanya, saat sekarang nilai siswa harus benar-benar otentik. Mencerminkan apa adanya. Tidak perlu dikatrol-katrol lagi. Setiap penilaian harus ada rubrik jelas, sehingga siapapun yang menilai kemungkinan bias nya kecil. Jika ada siswa yang masih di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) tentu harus ada penangganan. Tentu ini tidak mudah. Perlu energi besar. Tetapi harus dilakukan sekarang. Kalau tidak, kita akan melahirkan generasi yang tidak lebih baik dari yang sekarang. 

Nah, jika kita tidak ingin menduplikasi generasi korup, saatnya kita mengkampanyekan gerakan StopNgaji. Setuju?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar