Menurut data Transparency International
(TI) tahun 2013, dari 117 negara yang disurvey, Indonesia berada di urutan 64
negara terkorup di dunia. Hasil ini jauh jika dibandingkan dengan negara
tetangga, Singapura yang berada di posisi ke 5 negara paling bersih versi TI. Menurut
ketua GOPAC (Global Organization of Parliamentarians Against Corruption) Indonesia,
Bapak Pramono Anung, korupsi di negara ini sudah menjadi masalah serius. Sudah sangat
mengkhawatirkan, karena sudah merambah eksekutif, legislatif, yudikatif maupun
swasta.
Dua tahun belakangan ini, negeri
ini banjir berita koruptor tertangkap. Mulai sang menteri, ketua partai, dan ketua
MK. Ini benar-benar memilukan sekaligus memalukan. Negeri mayoritas muslim yang
kaya akan nilai-nilai akhlak, rontok gara-gara ulah segelintir orang. Negeri
yang kaya akan adat dan budaya luhur, hilang gara-gara perilaku sebagian kecil
orang. Ini harus dicarikan solusi. Polisi, jaksa, dan hakim, bahkan KPK saja
belum cukup. Perlu gerakan massal yang melibatkan banyak orang.
Para koruptor (setidaknya yang
sudah tertangkap) adalah orang-orang pandai. Kalau ditanya apakah para koruptor
itu nilai raportnya jelek?. Tidak. Rata-rata nilai ijazahnya bagus. Bahkan mungkin
sangat bagus. Apalagi yang berstatus guru besar, tentu kaya akan ilmu dan
pengetahuan. Mereka membutuhkan proses lama untuk meraih predikat pakar. Pastilah
mereka orang-orang hebat dari segi akademis. Mereka pintar dan cerdas. Tapi anehnya,
semua itu tidak berkorelasi positif dengan nilai afektifnya.
Memang belum ada data penelitian
yang valid. Apakah para koruptor itu nilai kepribadian di raportnya K, alias
kurang. Saya belum pernah melihat nilai raport para koruptor. Tapi saya
mempunyai keyakinan, kalau sebagian besar nilai kepribadian di raport mereka
adalah berpredikat B (Baik), bahkan mungkin SB (sangat baik). Pertanyaan
selanjutnya, mengapa sampai terjadi begitu? Banyak faktor kata pengamat. Penulis
setuju, jika lingkungan sangat mempengaruhi seseorang. Tapi manusia punya akal
dan hati, tentu bisa memilih dan memilah lingkungan. Lingkungan yang baik
harusnya diikuti, sementara lingkungan yang kurang baik semestinya dihindari.
Bahkan bisa jadi, kita sendiri yang menciptakan lingkungan itu.
Sedikit banyak, mengapa negri ini
banyak melahirkan koruptor, adalah karena faktor guru. Gurulah yang membentuk
pribadi-pribadi kecil yang hasilnya bisa dirasakan 20 atau 30 tahun kemudian. Kemungkinan
besar, guru waktu menilai siswanya tidak otentik. Kecerdasan hanya ditentukan
oleh angka-angka. Kepribadian hanya ditentukan oleh pandangan sepintas di akhir
semester atau di akhir studi. Tanpa ada rubrik yang jelas. Apa indikatornya
siswa dapat nilai SB, B, C, atau K. Guru
melabeli siswa hanya dengan perasaan tidak berdasarkan fakta dan data.
Umumnya (dan hingga kini kita
masih banyak dijumpai), guru menilai peserta didik hanya pada level kognitif
saja. Sementara afektif dan psikomotor diabaikan begitu saja. Guru
menjastifikasi murid baik hanya dari akumulasi nilai UH, UTS, UAS dan UN saja. Nilai
afektif (sikap) dan psikomotor biasanya di kira-kira. Istilah umumnya, NGAJI
(ngarang biji). Hal itu
dianggap lumrah, wajar, dan bukan rahasia lagi. Kadang itu dilakukan tanpa
merasa bersalah. Padahal justru nilai afektif itulah yang penting, yang sangat
kelihatan dampaknya di masyarakat.
Sudah saatnya sekarang para guru
menghentikan kebiasaan ini. Kalau perlu, sudah waktunya diadakan “Mahkamah Guru’,
yang akan mengadili sang guru jika melakukan ‘malpraktek’. Kode etik profesi
guru harus ditegakkan, setegak-tegaknya. Oleh karenanya, saat sekarang nilai
siswa harus benar-benar otentik. Mencerminkan apa adanya. Tidak perlu dikatrol-katrol
lagi. Setiap penilaian harus ada rubrik jelas, sehingga siapapun yang menilai
kemungkinan bias nya kecil. Jika ada siswa yang masih di bawah KKM (Kriteria
Ketuntasan Minimal) tentu harus ada penangganan. Tentu ini tidak mudah. Perlu energi
besar. Tetapi harus dilakukan sekarang. Kalau tidak, kita akan melahirkan
generasi yang tidak lebih baik dari yang sekarang.
Nah, jika kita tidak ingin
menduplikasi generasi korup, saatnya kita mengkampanyekan gerakan StopNgaji. Setuju?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar