Senin, 10 November 2014

Merdeka ataoe Mati

Slogan ini beresiko. Menutup peluang lain. Pilihannya hanya dua. Kalau tidak bebas (merdeka), ya mati. Lebih baik mati daripada dijajah kembali. Ada keyakinan kuat dalam slogan ini. Keyakinan yang menumbuhkan kekuatan, sekaligus pengorbanan. Tidak tanggung-tanggung, nyawa menjadi taruhannya. Semakin sering diucapkan, semakin meningkat semangatnya. Begitu kira-kira ilustrasi kejadian sekitar 10 November, 69 tahun yang lalu di Surabaya.

Peristiwa heroik itu diperingati setiap tahun. Kostum pahlawan yang didominasi baju compang-camping mewarnai setiap parade. Juga baju celana doreng, dipakai dimana-mana. Tidak ketinggalan bambu runcing sebagai aksesoris utama kegiatan selalu ditonjolkan. Duplikat bung Tomo selalu ada, bahkan kadang dilombakan. Siapa yang dianggap paling mirip, dialah juaranya. Peringatan seperti ini penting untuk mengingat jasa para pahlawan. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yaitu mewarisi semangat dan melanjutkan perjuangan mereka agar negeri ini benar-benar merdeka.

Secara dejure, kita sudah merdeka. Punya rakyat, punya wilayah, punya pemerintahan, dan diakui dunia. Namun secara defacto, kita belum benar-benar merdeka. Kita masih tergantung negara lain. Utang negara masih lebih dari 2000 Trilyun. Itu artinya, setiap bayi yang lahir, langsung terbebani utang negara lebih dari 8 juta. Entah kapan lunasnya, karena faktanya tiap tahun jumlah utang negara selalu bertambah. Kekayaan laut dirampas terang-terangan negara lain, kita tidak dapat berbuat banyak. Ikan kita dicuri, dikalengkan, dan akhirnya dijual lagi ke kita. Aneh, kita membeli ikan milik kita sendiri. Kita menjual (ekspor) minyak mentah. Setelah jadi bensin atau solar kita beli (impor). Aneh bukan? Kita membeli minyak kita sendiri. Karet mentah diekspor besar -besaran. Ketika sudah menjadi ban kita beli dengan harga selangit. Dan seterusnya dan seterusnya.

 Di dunia pendidikan, tidak jauh berbeda. Kita lebih bangga jika referensi yang digunakan untuk menulis ilmiah diambil dari buku-buku luar. Teori-teori pendidikan yang ditelorkan negara lain, kita pakai dengan bangga. Walau kita tahu belum tentu teori itu bisa jalan disini, karena memang kultur disana dan disini berbeda. Teks book banyak diproduksi oleh negara asing. Kita masih senang menjadi konsumen daripada produsen tulisan. Kita lebih suka mengimpor produk (ide dan gagasan) asing daripada produk lokal. Kita lebih suka menyewa pelatih asing daripada pelatih lokal.

Lebih tragis lagi, saat tulisan ini dibuat, yakni tepat pada 10 November 2014. Pada saat yang sama ada kabar yang membuat kita ragu, apakah kita benar-benar merdeka. Terjadi kelaparan, warga 10 desa di Kaltim ingin menjadi warga negara Malaysia (merdeka.com). Mereka berada di wilayah Kecamatan Long Apari, sebuah kecamatan yang berbatasan darat dengan Malaysia, meliputi Desa Long Pananeh I, Long Pananeh II, Long Pananeh III, Tiong Ohang, Tiong, Bulu, Noha Tifab, Long Apari, Long Kerioq, Noha Silat, dan Desa Noha. Warga menjerit karena lapar, akibat kekeringan, tidak adanya infrastruktur, dan harga sembako yang mencekik. Mereka iri dengan negeri tetangga yang pemerintahnya lebih peduli. Pilihan untuk hijrah, adalah keterpaksaan dan logis untuk menyambung hidup. Walau akhirnya aksi tersebut bisa dicegah (setelah datang 12.5 ton sembako) , namun aksi serupa bisa terjadi kapan saja. Bahkan mungkin eksodus besar-besaran terjadi, jika kita tidak serius membantu saudara kita di perbatasan.


Nah, saatnya kita meneladani sekaligus menjadi pahlawan di abad 21 ini. Pahlawan yang sebenarnya. Walau itu di scope kecil. Dimanapun kita tinggal, apapun profesi kita. Para guru memerdekakan anak bangsa dari penjajahan ide dan budaya hedonis. Para pendidik, menularkan semangat patriotisme, bangga akan negeri sendiri, dan siap melahirkan pejuang – pejuang di masa neo-modern. Jika tidak, anak keturunan kita tidak akan pernah menikmati indahnya kata ‘merdeka’ tetapi justru kata ‘mati’ yang kita dapatkan. Bukan mati fisik tetapi mati mental. Kita tidak menginginkan hal itu bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar