Slogan ini beresiko. Menutup
peluang lain. Pilihannya hanya dua. Kalau tidak bebas (merdeka), ya mati. Lebih
baik mati daripada dijajah kembali. Ada keyakinan kuat dalam slogan ini. Keyakinan
yang menumbuhkan kekuatan, sekaligus pengorbanan. Tidak tanggung-tanggung,
nyawa menjadi taruhannya. Semakin sering diucapkan, semakin meningkat
semangatnya. Begitu kira-kira ilustrasi kejadian sekitar 10 November, 69 tahun
yang lalu di Surabaya.
Peristiwa heroik itu diperingati
setiap tahun. Kostum pahlawan yang didominasi baju compang-camping mewarnai
setiap parade. Juga baju celana doreng, dipakai dimana-mana. Tidak ketinggalan
bambu runcing sebagai aksesoris utama kegiatan selalu ditonjolkan. Duplikat
bung Tomo selalu ada, bahkan kadang dilombakan. Siapa yang dianggap paling
mirip, dialah juaranya. Peringatan seperti ini penting untuk mengingat jasa
para pahlawan. Namun, ada yang lebih penting dari itu. Yaitu mewarisi semangat
dan melanjutkan perjuangan mereka agar negeri ini benar-benar merdeka.
Secara dejure, kita sudah
merdeka. Punya rakyat, punya wilayah, punya pemerintahan, dan diakui dunia.
Namun secara defacto, kita belum benar-benar merdeka. Kita masih tergantung
negara lain. Utang negara masih lebih dari 2000 Trilyun. Itu artinya, setiap
bayi yang lahir, langsung terbebani utang negara lebih dari 8 juta. Entah kapan
lunasnya, karena faktanya tiap tahun jumlah utang negara selalu bertambah.
Kekayaan laut dirampas terang-terangan negara lain, kita tidak dapat berbuat
banyak. Ikan kita dicuri, dikalengkan, dan akhirnya dijual lagi ke kita. Aneh,
kita membeli ikan milik kita sendiri. Kita menjual (ekspor) minyak mentah. Setelah
jadi bensin atau solar kita beli (impor). Aneh bukan? Kita membeli minyak kita
sendiri. Karet mentah diekspor besar -besaran. Ketika sudah menjadi ban kita
beli dengan harga selangit. Dan seterusnya dan seterusnya.
Di dunia pendidikan, tidak jauh berbeda. Kita lebih
bangga jika referensi yang digunakan untuk menulis ilmiah diambil dari
buku-buku luar. Teori-teori pendidikan yang ditelorkan negara lain, kita pakai
dengan bangga. Walau kita tahu belum tentu teori itu bisa jalan disini, karena
memang kultur disana dan disini berbeda. Teks book banyak diproduksi oleh negara
asing. Kita masih senang menjadi konsumen daripada produsen tulisan. Kita lebih
suka mengimpor produk (ide dan gagasan) asing daripada produk lokal. Kita lebih
suka menyewa pelatih asing daripada pelatih lokal.
Lebih tragis lagi, saat tulisan ini
dibuat, yakni tepat pada 10 November 2014. Pada saat yang sama ada kabar yang
membuat kita ragu, apakah kita benar-benar merdeka. Terjadi kelaparan, warga 10
desa di Kaltim ingin menjadi warga negara Malaysia (merdeka.com). Mereka
berada di wilayah Kecamatan Long Apari, sebuah
kecamatan yang berbatasan darat dengan Malaysia, meliputi Desa Long Pananeh I,
Long Pananeh II, Long Pananeh III, Tiong Ohang, Tiong, Bulu, Noha Tifab, Long
Apari, Long Kerioq, Noha Silat, dan Desa Noha. Warga menjerit karena
lapar, akibat kekeringan, tidak adanya infrastruktur, dan harga sembako yang
mencekik. Mereka iri dengan negeri tetangga yang pemerintahnya lebih peduli. Pilihan
untuk hijrah, adalah keterpaksaan dan logis untuk menyambung hidup. Walau
akhirnya aksi tersebut bisa dicegah (setelah datang 12.5 ton sembako) , namun
aksi serupa bisa terjadi kapan saja. Bahkan mungkin eksodus besar-besaran
terjadi, jika kita tidak serius membantu saudara kita di perbatasan.
Nah, saatnya kita meneladani sekaligus
menjadi pahlawan di abad 21 ini. Pahlawan yang sebenarnya. Walau itu di scope
kecil. Dimanapun kita tinggal, apapun profesi kita. Para guru memerdekakan anak
bangsa dari penjajahan ide dan budaya hedonis. Para pendidik, menularkan semangat
patriotisme, bangga akan negeri sendiri, dan siap melahirkan pejuang – pejuang di
masa neo-modern. Jika tidak, anak keturunan kita tidak akan pernah menikmati
indahnya kata ‘merdeka’ tetapi justru kata ‘mati’ yang kita dapatkan. Bukan mati
fisik tetapi mati mental. Kita tidak menginginkan hal itu bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar