Jumat, 07 November 2014

Malpraktek

Siapapun kita, pasti pernah menilai guru kita, walau itu tidak diucapkan terang-terangan. Kita sering melabeli guru A enak, guru B kurang enak, guru C tidak enak. Enak disini berarti enak mengajarnya. Tentu hal ini relatif. Tetapi kan bisa diukur. Kebanyakan siswa merasa nyaman dengan guru tersebut atau tidak. Andai disurvey pun, hasilnya kemungkinan besar tidak jauh dari rasan-rasan siswa. Mengapa ada guru yang tidak enak? Bisa saja itu terjadi karena guru tersebut melakukan malpraktek dalam proses mengajar.

Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi (dimensiilmu.blogspot.com). Jadi ada dua unsur dalam malpraktek. Pertama, kelalaian profesi dalam melaksanakan prosedur dan kedua, mengakibatkan kerugian.

Dilakukan sengaja mapun tidak sengaja, malpraktek yang dilakukan sang guru akan menyebabkan kerugian bagi siswa. Mungkin saja tidak hanya merugikan satu siswa saja, bisa jadi malah merugikan semua siswa. Mengapa bisa begitu? Karena seorang guru adalah seorang leader sekaligus seorang manager ketika berdiri di depan kelas. Apapun yang disampaikan guru, dianggap benar oleh siswanya. Dalam hal ini posisi guru superior. Sangat jarang ditemui siswa yang membantah gurunya, apalagi protes. Guru mempunyai kuasa penuh dalam menentukan nilai. Oleh karenanya jika malpraktek dilakukan guru, siswa tidak dapat berbuat banyak.

Ada banyak macam malpraktek yang dilakukan oleh guru. Diantaranya, guru memberikan bocoran jawaban kepada siswa. Ini berlaku untuk ulangan harian maupun ulangan semester. Biasanya ini dilakukan guru sekolah sekaligus merangkap guru privat siswa. Seringkali guru seperti ini melakukan diskriminasi. Dia pasti punya ‘siswa kesayangan’ atau ‘anak emas’ di kelasnya. Yang lebih heboh adalah contekan massal ketika UN, yang dilegalkan oleh kepala sekolah dan melibatkan guru untuk mensuplay jawaban. Malpraktek jenis ini akan mendemotivasi siswa lain. Siswa yang belajar sungguh-sungguh terkalahkan oleh temannya yang tidak pernah belajar. Dampak lainnya, hasil yang didapat adalah abal-abal alias palsu. Kelak, siswa yang demikian akan mencari jalan pintas untuk memperkaya diri, tanpa susah payah. Bahkan kalau perlu mengorbankan orang lain.

Jenis malpraktek yang lain adalah seorang yang berani mengajar di depan kelas walau tidak mempunyai kualifikasi untuk mengajar. Banyak guru yang lulusan non kependidikan tetapi nekad menjadi guru, karena kalah bersaing di bidang yang lain. Betapa banyak kita jumpai, seorang lulusan teknik mengajar bahasa Indonesia. Seorang lulusan hukum mengajar ilmu geografi. Lebih memprihatinkan lagi, lulusan pendidikan agama mengajar matematika, lulusan fisipol mengajar biologi atau fisika. Alasan yang dipakai adalah toh pernah mendapatkan ilmu itu ketika duduk di sekolah menengah. Memang tidak larang. Boleh-boleh saja. Kalaupun bisa mengajar, materi tersampaikan. Tetapi salah konsep, bahkan penjelasannya ‘menyesatkan’. Kita tahu, kompetensi seorang pendidik sangat menentukan keberhasilan seorang siswa. Bisa dipastikan, jika tidak sesuai dengan kualifikasinya, pasti hasil belajar siswa tidak akan optimal.

Tindakan kekerasan adalah jenis malpraktek yang lain. Kekerasan bisa berupa verbal maupun fisik. Kita semua sepakat tidak diperkenankan adanya kekerasan, dengan alasan apapun apalagi di dunia pendidikan. Sekali terjadi kekerasan dan jika tidak ada komplain, kemungkinan besar akan diulang lagi pada waktu berbeda dengan siswa yang berbeda. Kekerasan verbal kadang jauh lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik. Kata-kata yang menyakitkan bagi siswa, akan dikenang sepanjang hayatnya. Membekas dihati, sulit dihilangi. Hanya siswa yang berlapang dada sajalah yang bisa melupakannya. Sayangnya siswa yang begini tidaklah banyak.


Nah, malpraktek guru akan menghasilkan banyak guru ‘gadungan’. Guru seperti ini akan merusak generasi. Berbahaya bukan?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar