Suatu hari saya bertanya ke siswa
kelas 9B. “Berapa banyak bilangan di dunia ini?”. Sebagian besar siswa menjawab
tak berhingga. “Kalau kita menghitung, satu dua tiga empat dan seterusnya,
bilangan apa yang ada di ujung?” Kembali mereka menjawab tak terhingga. Namun,
ketika saya tanya lagi, “berapa tak berhingga itu?” Mereka mulai ragu-ragu.
Bimo menjawab, “yaa banyak sekali ustad”. “Kalau menurutmu Rif?”, yaa besar sekali, jawab Rifqi sambil garuk
kepala. “Seberapa besar?” “Yaa pokoknya besar sekali”, jawabnya sambil
menghentikan garukan di kepalanya. Saya
menduga kebanyakan siswa saya masih sulit mendefinisikan bilangan tak berhingga
itu.
“Apakah tak berhingga itu sama
dengan banyak bulu pada semua sapi di dunia ini?” Tidak, kurang banyak, jawab
Kevin lantang. “Bagaimana kalau banyak sapi mulai zaman Nabi Adam hingga kiamat
kelak?” , Tidak, kurang banyak, jawab Kevin lagi. “Apakah tak berhingga itu sama dengan
banyaknya pasir di pantai Parang Tritis Yogja?”, Tidak ustad, masih kurang banyak. “Bagaimana
kalau banyak pasir di seluruh pantai di dunia ini?, masih kurang banyak, jawab
beberapa anak serempak. “Terus seberapa?”. Selang beberapa detik mereka semua diam. Tiba-tiba Alfian berkomentar, yaa pokoknya
lebih banyak dari itu semua. Sangat buanyak. Tidak terbatas. Jawabnya yakin.
“Sekarang, banyak mana anggota bilangan
asli dengan bilangan cacah?”. Alfian menjawab, banyak bilngan cacah lah. “Mengapa
bisa begitu?”. Iyaa karena bilangan
cacah mempunyai anggota nol, tapi bilangan asli tidak. Kemudian saya kejar
dengan pertanyaan, “Lho, memang berapa banyak anggota bilangan asli?”. Yaa, tak
berhingga. “Kalau bilangan cacah, berapa banyak anggotanya?”. Yaa, tak berhingga.
Segera saya jawab, kalau begitu sama dong?”. Ya tidak ustad, kan selisih satu. Kan ada nol
di cacah tapi tidak di asli. “Lho, katanya banyak bilangannya sama-sama tak
berhingga?” Yaa, pokoknya tak terbatas. “Jadi tak berhingga itu sama dengan tak
terbatas yaa? Sebagian besar siswa menjawab iya. Sebagian kecil diam, bingung,
sulit membayangkan atau tak mengerti
sama sekali.
“Anak-anak, tak berhingga itu
belum tentu tak terbatas”. “Ada lho
sesuatu yang jumlahnya tak berhingga tapi terbatas”. Lho, kok bisa ustad?, sela
Bimo. “Iya, ustad ini aneh”, timpal Alfian.
“Coba lihat ilustrasi ini”, kata
saya sambil mendekati whiteboard. Saya menggambar garis lurus dengan ujung kiri
saya beri tanda angka nol dan ujung kanan angka satu. “Berapa banyak bilangan
antara nol dan satu?”. Semua siswa
terdiam.”Kira-kira ada sepuluh?”. “ Lebih”, kata mereka serempak. “Lha, kalau seratus?” Kurang
banyak. “Kok bisa?”, pancing saya. “Iya, kan ada satu per dua, satu per tiga,
satu per empat, dan seterusnya. Pasti juga ada satu per seribu, satu per
sejuta, dan seterusnya. Jadi yaa banyak banget”. Saya hanya tersenyum,
mendengar penjelasan Rio.
“Nah, kalau antara satu per dua
dan satu pertiga ada berapa bilangan?”, tanya saya lagi. Mereka mulai
ragu-ragu. “Iya ya, kayaknya banyak juga”, ujar seorang anak di pojok depan. “Benar,
ada tak berhingga juga”, jawab saya. Coba kita buktikan. Bilangan satu per tiga
bisa kita tulis 2 milyar per 6 milyar. Sedang satu per dua bisa ditulis 3
milyar per 6 milyar. Nah, diantara itu kan ada bilangan 2.000.000.001 per 6.000.000.000,
2.000.000.002 per 6.000.000.000, 2.000.000.003 per 6.000.000.000, dan seterusnya
sampai 2.999.999.999 per 6.000.000.000. Kalau penyebutnya bukan 6 milyar tapi 6
trilun misalnya, pasti jumlah bilangan antara 1/2 dan
1/3 lebih banyak lagi kan? Mereka
bengong. Seakan tak percaya dengan apa yang mereka lihat.
Tapi anehnya, walau banyak
bilangan antara 1/2 dan 1/3 ini tak berhingga tetapi sesungguhnya terbatas. Terbatas
hanya antara 1/2 dan 1/3. Tidak lebih. Nah, sekarang terbukti kan, ada banyak
bilangan yang jumlahnya tak berhingga tapi terbatas. Sama kayak kasus bulu sapi
butiran pasir tadi. Benar jumlahnya tak berhingga. Tapi kan terbatas, terbatas
hanya di satu bumi ini saja, tidak di planet-planet yang lain. Sejenak saya
diam. Saya perhatikan sebagian siswa bilang ehm, sebagian mengangguk, sebagain
masih garuk-garuk kepala, sebagian lagi masih melongo. Hanya Bimo yang yang bilang, "aneh yaa". “Iya, memang aneh”, jawab saya sambil tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar