Kelak, (mungkin saja) guru tidak
diperlukan lagi. Siswa yang datang ke sekolah pagi hari dan pulang siang/sore hari
sudah tidak ada lagi. UTS, UAS, dan Ujian Sekolah yang serentak pun tidak
musim. Penerimaan siswa baru (PMB) yang mengharuskan pendaftar berduyun-duyun
di satu lokasi tidak akan terjadi. Wali siswa yang mengambil raport anaknya
setiap 6 bulan atau di akhir tahun juga tidak ada lagi. Mengapa bisa begitu? Ya,
karena masa itu semua serba virtual. Serba maya.
Gedung sekolah yang megah tidak akan
ada lagi. Semua cukup digantikan oleh situs di internet. Seseorang belajar
tidak di ruang kelas. Cukup di depan smartphone atau laptop. Dia bisa saja berada di
kamar tidur, di taman bermain, di mall, di pasar atau di sawah. Banner, papan nama
sekolah yang besar, serta ruang-ruang kelas digantikan oleh alamat situs aja. Cukup hanya dengan ketik www.blablabla.com. Kita sudah berada di ‘ruang
kelas’ maya.
Guru cukup menginfokan bahwa
pelajaran dimulai hari ini jam ini. Maka semua siswa sudah online di tempat
masing-masing. Model presensi siswa yang memanggil namanya satu per satu tidak
ada lagi. Cukup di lihat di pojok layar bawah berapa siswa yang sudah online
dan assign. Di tempat tertentu guru menjelaskan materi dan siswa menerima
materi di tempat yang guru tidak perlu tahu. Andai masih belum paham, siswa
masih bisa belajar melalui tutorial interaktif yang sudah disiapkan sang guru.
Tutorial ini bisa diulang-ulang hingga siswa merasa paham. Bandingkan dengan jika
guru harus menjelaskan berulang-ulang. Selain capek, pasti menjemukan.
PMB sudah mulai online (walau
untuk sekarang masih sering ngadat). Ulangan Harian, UTS, dan UAS sudah
bisa didesain online. Bahkan sekarang mulai dipikirkan ujian akhir sekolah (UN)
online. Raport juga akan dibuat online dan bisa dicetak kapan saja dan dari
mana saja. Pembayaran sekolah (SPP) dan sejenisnya juga online. Buku-buku teks
sudah bisa didownload dan dibaca online. Pada masa ini interaksi riil sudah
semakin minim. Semua serba maya, virtual, dan semakin abstrak. Komunikasi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, guru dengan wali siswa juga secara online. Dan
seterus nya dan seterusnya.
Kalau model kita mengajar sama
dengan waktu kita kuliah dulu. Terlambat. Semua sudah berubah. Sudah saatnya
kita membelajarkan anak-anak dengan materi : bagaimana seharusnya mereka
belajar (Learning How to Learn). Keterampilan belajar jauh lebih utama daripada materi ajar itu
sendiri. Konten materi bisa berubah setiap saat. Tetapi keterampilan belajar
yang dimiliki harus konsisten. Jika keterampilan belajar ini sudah bagus,
apapun kontennya tidak akan jadi soal. Ini masih jarang dilakukan guru. Guru hanya
fokus bagaimana menyelesaikan materi. Itu saja, dan itu berbahaya. Mengapa? Karena
andai sekarang kita mengajari anak usia 10 tahun , sesungguhnya kita mengajari
mereka untuk bisa hidup 20 tahun berikutnya.
Nah, sudah saatnya dikenalkan
teori belajar baru. Teori belajar dari dunia maya. Teori ini dinamakan teori
belajar sibernetik. Mungkin berasal dari kata cyber. Teori ini lambat atau
cepat sudah menampakkan wujudnya. Baik dirasakan atau tidak. Seseorang belajar
tidak berasal dari satu sumber. Mereka bisa belajar dari dunia internet yang
informasinya melimpah. Ya, dunia ini banjir informasi, baik yang godnews
maupun yang badnews. Bayangkan saja jika ada 8 milyar penduduk bumi dan
tiga per empatnya sudah terkoneksi dengan internet. Berarti ada 6 milyar
informasi setiap hari.
Begitu banyaknya informasi mengharuskan
kita mengajarkan anak-anak untuk memilah dan memilih informasi yang berguna bagi
hidupnya kelak. Perlu strategi khusus untuk membelajarkannya. Proses mengolah
informasi itu penting. Bahkan mengalahkan informasi itu sendiri. Karena jika
memperosesnya salah, maka kemungkinan besar keputusan yang diambil juga keliru.
Untuk mengatasi itu salah satunya dengan mempelajari teori belajar sibernetik.
Teori sibernetik ini terus
berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Jika kita tidak
mengantisipasinya, generasi kita akan tenggelam dalam lautan informasi.
Mengapa? Karena dunia internet itu ‘kejam’. Apa saja ada dan siapa saja bisa
mendapatkannya. Tak ada sekat. Tak ada proteksi. Tidak ada saringan informasi. Sulit
dibedakan mana informasi yang benar dan mana informasi yang seolah-olah benar. Semua
serba liar. Informasi di internet mirip dengan jalan tol. Semua kendaraan melaju
dengan kecepatan tinggi. Bayangkan jika seorang anak kita lepas sendirian di
jalan tol. Berbahaya bukan?
keren, ustadz :)
BalasHapusmenurut saya keren tapi jika semuanya instans saja, apakah semua aorang akan dapat mengikuti arus tersebut ?
BalasHapus