Hey, ust sudah datang. Ayo ayo
cepet. Begitu teriak beberapa anak di depan kelas 7J. Saya dengan santai
berjalan mendekati pintu kelas. Beberapa anak tergopoh-gopoh memasukkan buku
dan kamus ke dalam loker di depan kelas. “Ustad, kok lama sih. Kami sudah lama
menunggu”, ujar nisa. Saya cuma tersenyum. “Mesti rek, ustad ini”, timpal nisa
melihat saya tidak menjawab.
Begitu saya membuka pintu,
seketika itu kehebohan kelas menjadi berkurang. Beberapa siswa mengemasi buku
di depan mejanya. Segera memasukkan ke dalam tas nya dan berganti mengeluarkan
buku matematikanya. Saya coba memandangi mereka sambil menarik nafas dalam
dalam. “Berapa menit lagi bisa dimulai?” Suara saya agak mengagetkan si Fatma.”
Iya, iya ustad, bentar lagi”. Jawabnya sambil tangannya terus berkemas.
Hust, sst, bisik Lara sambil ujung jari telunjuknya
ditempel di bibirnya. Dia memberi kode ke teman disamping kiri dan belakang,
agar segera diam. Saya sengaja tidak segera memulai pelajaran. Saya hanya
memastikan mereka bener benar siap. Istiqdaadan,
suara Novi, sang ketua mendiamkan kelas. Ijaabatus salaam ... Selang tiga detik
saya berucap,
"Assalamu’alaikum warahmatuwallahi wabarokaatuh".
Serempak meraka menjawab wa’alaikumsalam
warahmatullahi wabaarakatuh. Kemudian Novi melanjutkankan, iqro’naa basmalah.
Bismillahirrahmaanirrakhiim, suara serempak kedua terdengar. “Ustad kenapa?” Suara
Nadya memecah kesunyian setelah beberapa menit tidak ada aktivitas. “Kok tidak
seperti biasanya”. Hehe ... iya nih, sambung Ria.
“Anak-anak, mohon maaf kalau
suara saya berubah”. Sengaja suara saya buat lebih pelan dan berat, selain
untuk menarik perhatian mereka juga agar lebih meyakinkan mereka. “Sudah tiga
hari ini saya kurang fit”. Oh, pantesan kata Fitri dari pojok belakang.
“Doakan saya yaa... “
“Lho memang ada apa ustad?” Tanya Amel.
“Sudah lama, ini sebenarnya saya rencanakan, tapi mungkin dua hari lagi baru
akan terlaksana”. Semua diam, sambil menunggu kalimat saya berikutnya. “Kalau ini
tidak saya lakukan, mungkin akan menjadi lebih parah”. Wajah anak-anak menjadi
sedikit tegang. “Saya sudah ijin ke istri dan kepala sekolah. Saya juga sudah
memberi tahu ustad dan ustadzah yang lain”. Wajah penasaran samakin tampak.
Dengan intonasi pelan, saya berucap,
“Saya akan melakukan operasi”. Hah, respon Lala seketika. Wajah Fitri sudah
mulai memerah, Nina mulai berkaca-kaca. “Doakan semua lancar. Tidak ada hambatan
apapun. Semoga semuanya baik-baik saja”.
Memang sakit apa ustad? Ustad, gak masuk berapa hari? Kapan operasinya? Dimana?
Kalimat itu bertubi-tubi menyerang saya. Saya hanya diam. Sesekali menarik nafas
dalam-dalam.
Setelah sunyi beberapa saat, saya
berucap. Baiklah ustad akan cerita yang sebenarnya. Benar ustad akan melakukan operasi.
Tetapi operasi bilangan. Hah, semua siswa meresa lega. “Duh, ustad ini bikin
kaget aja”, Kata Linda yang duduk di depan. “Iya nih, bikin deg-degan”, tambah Ayu.
Ustad ini sandiwara yaa, protes Ayu selanjutnya.
Sejak itu saya mulai tersenyum,
dan kelas pun menjadi riuh redam. Selanjutnya materi pecahan dimulai, dan anak-anak
menikmati. Seperti biasa, pelajaran matematika menjadi tidak kaku, penuh ceria,
dan canda. Guyonan selalu saya sisipi di sela-sela menjelaskan sesuatu. Materi yang
berat menjadi ringan. Sebisa mungkin saya tidak menggurui mereka. Saya coba
pancing, dan ikuti jalan berfikir mereka. Sampai akhirnya ketemu hasil akhirnya.
Jadi seakan-akan mereka sendiri yang menemukan jawabannya. Begitu ketemu rumus
umumnya, saya selalu berujar, “nah ini yang disebut ajating. Apa ituu?” Ajaib
dan Pentiiing, jawab anak-anak membahana. Sedetik kemudian mereka tertawa dan
menyalinnya di buku masing-masing.
Disaat mereka pada puncak
menikmati proses pembelajaran, tiba-tiba saya berucap, “iqra’naa hamdalah”.
Alhamdulillahrirobbil aalamiin. Jawab siswa serempak. “Halah, kok cepet sih”,
ucap Ayu. “Ustad, jangan lupa, operasinya yaa”, kata Nisa. “Hehe iya iya ... “, jawab saya sambil tersenyum keluar kelas.
saya juga mau daftar operasi yang itu, ustadz :D
BalasHapus