Selasa, 21 Oktober 2014

Open Question

Pernahkan Anda menyaksikan fenomena seperti ini. Seorang anak kelas dua sekolah dasar mati-matian menutupi jawaban matematikanya agar tidak disalin temannya. Biasanya tangan kanan menulis jawaban, sementara tangan kirinya menutupi jawaban itu. Kadang, setelah itu buku langsung ditutup, sambil tangan si anak masih ada ditengah buku tulis. Jika ulangan sudah usai, malah buku itu di masukkan ke ruang di bawah meja atau kadang didekap erat-erat. Ini semua usaha protective sang anak agar jawabanya tidak ditiru oleh temannya.

Mengapa itu terjadi?. Karena sang guru memberi soal yang jawabannya tunggal. Biasanya soal yang disajikan bentuknya seperti ini.

                                7  +  3  =  ...

                                14 - ...  =  4

                                5  x  2  =  ...

                                30 :  3  =  ...

Soal-soal seperti di atas tidaklah salah. Boleh-boleh saja. Tetapi, soal seperti itu membuat siswa berfikir konvergen. Kalau jawabnya tidak sepuluh pasti salah. Tidak ada alternatif lain. Memang bagi sang guru sangat mudah untuk mengkoreksi jawaban. Apalagi kalau dikoreksi bersama. Guru membacakan jawaban, siswa mencocokkan jawaban. Setelah selesai, siswa menuliskan salahnya berapa benarnya berapa. Sang guru tinggal memberi nilai dan memasukkan ke daftar kumpulan nilai.

Namun bagi beberapa siswa, soal seperti di atas ‘menakutkan’. Sekali menuliskan jawaban harus benar. Kalaupun masih ragu, dia menunggu ‘persetujuan’ teman di sampingnya. Baru dia mau menuliskan jawaban. Sehinga tidak jarang dia menulis jawaban pada saat injury time. Bukannya tidak bisa, tetapi untuk memastikan saja, bahwa apa yang ditulis adalah benar.

Sekarang coba kita bandingkan dengan tipe soal-soal seperti berikut:

                                .... + ...  =  10

                                ...  – 10 =   4

                                ...  x  ... =  10

                                ...  : ...   =  10

Tipe soal tersebut membuat siswa lebih ‘aman’. Mengapa? Karena jawaban tidak tunggal. Bisa jadi anak yang duduk bersebelahan jawabnya tidak sama. Tidak masalah bukan. Karena memang ada banyak jawaban. Fenomena anak yang menutupi jawaban tadi kemungkinan besar sudah akan berkurang. Bahkan bisa tidak ada sama sekali. Biarkan mereka menjawab semampunya. Mungkin ada yang bisa menemukan tiga jawaban, mungkin ada yang sepuluh jawaban, bahkan mungkin untuk anak yang tidak pantang menyerah, meraka akan menemukan lebih banyak dari itu.

Pada soal ... + ... = 10, mungkin seorang anak menjawab  1 + 9, tapi anak yang lain menjawab 9 + 1. Tidak masalah. Toh sama-sam benar bukan. Mungkin yang lain menjawab 7 + 3, atau 4 + 6, atau 8 + 2, dan seterusnya. Bagi anak yang cerdik, mungkin dia menulis 10 + 0 atau 0 + 10. Pertanyaan ini lebih variatif lagi jawabnya jika diberikan ke anak yang lebih tinggi kelasnya. Anak yang sudah mengenal bilangan bulat, mungkin jawabnya -2 + 12, atau 17 + (-7), atau -10 +20, dan seterusnya. Jika dia sudah mengenal bilangan pecahan, maka mungkin saja dijawab 8 ½ + 1 ½, atau - ½ + 10 ½ , atau 9¼ + ¾ , dan seterusnya.  Bagi yang sudah mengenal desimal, ada kemungkinan dia menjawab 9,5 + 0,5, atau 6,25 + 3,25, atau -0,1 + 10,1, dan seterusnya.

Nah sudah mulai tampak bukan, bahwa anak bebas menjawab sesuai dengan kemampuannya. Asal sesuai dengan prosedur, semua jawaban bisa benar. Tinggal kita menghitung berapa banyak jawaban yang benar. Hal ini memang sedikit memberatkan bagi guru. Karena harus mengoreksi jawaban yang begitu banyak. Namun untuk membentuk anak didik yang kreatif, tidaklah salah untuk sesekali kita menyisipkan soal seperti di atas.

Tipe soal yang tidak kaku tersebut biasanya dinamakan open question. Menurut penulis, setidaknya ada 5 manfaat ketika, guru menyajikan soal dengan open question. Berikut ini manfaatnya.

Pertama, oleh karena jawaban tidak tunggal, maka siswa akan terbiasa berfikir divergen (menyebar). Antar siswa yang satu dengan yang lainnya boleh berbeda jawaban. Ini mengakibatkan siswa tidak mudah 'tertekan'. Kedua, soal seperti itu menuntut siswa kratif. Mereka akan terbiasa bernalar. Dampak berikutnya adalah siswa akan terbiasa tidak mudah menyerah. Daya juangnya akan meningkat. Ketiga, siswa akan terbiasa menghargai pendapat orang lain. Walau jawaban dia tidak sama dengan temannya, dia akan fine-fine saja. Ini akan berdampak kelak ketika dewasa, dia tidak akan asing dengan keanekaragaman karakter manusia. Dia akan mudah beradaptasi dengan siapapun. Keempat,  guru akan dituntut untuk lebih kreatif. Guru akan selalu memunculkan soal-soal yang tidak rutin. Soal seperti ini biasanya jarang ditemui di buku-buku teks maupun buku yang ada di pasaran. Guru didorong untuk membuat soal sendiri. Kelima, siswa akan terbiasa berfikir sesuatu yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Dia akan berfikir lebih dari biasanya. Ini akan memunculkan generasi creator. Generasi pencipta bukan hanya sekedar pemakai.


Open question ini tidak hanya untuk anak sekolah dasar. Untuk anak sekolah menengah (pertama maupun atas) pun masih dapat diterapkan. Sudah saatnya guru melahirkan generasi yang kreatif dan berdaya juang tinggi. Begitu besar manfaat open question ini. Tidaklah rugi jika kita mencobanya sesegera mungkin. Bukankah begitu?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar