Pernahkan Anda menyaksikan
fenomena seperti ini. Seorang anak kelas dua sekolah dasar mati-matian menutupi
jawaban matematikanya agar tidak disalin temannya. Biasanya tangan kanan
menulis jawaban, sementara tangan kirinya menutupi jawaban itu. Kadang, setelah
itu buku langsung ditutup, sambil tangan si anak masih ada ditengah buku tulis.
Jika ulangan sudah usai, malah buku itu di masukkan ke ruang di bawah meja atau
kadang didekap erat-erat. Ini semua usaha protective sang anak agar
jawabanya tidak ditiru oleh temannya.
Mengapa itu terjadi?. Karena sang
guru memberi soal yang jawabannya tunggal. Biasanya soal yang disajikan
bentuknya seperti ini.
7 + 3 = ...
14 - ... = 4
5 x 2 = ...
30 : 3 = ...
Soal-soal seperti di atas
tidaklah salah. Boleh-boleh saja. Tetapi, soal seperti itu membuat siswa
berfikir konvergen. Kalau jawabnya tidak sepuluh pasti salah. Tidak ada
alternatif lain. Memang bagi sang guru sangat mudah untuk mengkoreksi jawaban. Apalagi
kalau dikoreksi bersama. Guru membacakan jawaban, siswa mencocokkan jawaban. Setelah
selesai, siswa menuliskan salahnya berapa benarnya berapa. Sang guru tinggal
memberi nilai dan memasukkan ke daftar kumpulan nilai.
Namun bagi beberapa siswa, soal
seperti di atas ‘menakutkan’. Sekali menuliskan jawaban harus benar. Kalaupun masih
ragu, dia menunggu ‘persetujuan’ teman di sampingnya. Baru dia mau menuliskan
jawaban. Sehinga tidak jarang dia menulis jawaban pada saat injury time.
Bukannya tidak bisa, tetapi untuk memastikan saja, bahwa apa yang ditulis
adalah benar.
Sekarang coba kita bandingkan dengan tipe soal-soal seperti
berikut:
.... + ... = 10
... – 10 = 4
... x ... = 10
... : ... = 10
Tipe soal tersebut membuat siswa
lebih ‘aman’. Mengapa? Karena jawaban tidak tunggal. Bisa jadi anak yang duduk
bersebelahan jawabnya tidak sama. Tidak masalah bukan. Karena memang ada banyak
jawaban. Fenomena anak yang menutupi jawaban tadi kemungkinan besar sudah akan
berkurang. Bahkan bisa tidak ada sama sekali. Biarkan mereka menjawab
semampunya. Mungkin ada yang bisa menemukan tiga jawaban, mungkin ada yang
sepuluh jawaban, bahkan mungkin untuk anak yang tidak pantang menyerah, meraka
akan menemukan lebih banyak dari itu.
Pada soal ... + ... = 10, mungkin
seorang anak menjawab 1 + 9, tapi anak
yang lain menjawab 9 + 1. Tidak masalah. Toh sama-sam benar bukan. Mungkin yang
lain menjawab 7 + 3, atau 4 + 6, atau 8 + 2, dan seterusnya. Bagi anak yang
cerdik, mungkin dia menulis 10 + 0 atau 0 + 10. Pertanyaan ini lebih variatif
lagi jawabnya jika diberikan ke anak yang lebih tinggi kelasnya. Anak yang
sudah mengenal bilangan bulat, mungkin jawabnya -2 + 12, atau 17 + (-7), atau
-10 +20, dan seterusnya. Jika dia sudah mengenal bilangan pecahan, maka mungkin
saja dijawab 8 ½ + 1 ½, atau - ½ + 10 ½ , atau 9¼ + ¾ , dan seterusnya. Bagi yang sudah mengenal desimal, ada
kemungkinan dia menjawab 9,5 + 0,5, atau 6,25 + 3,25, atau -0,1 + 10,1, dan
seterusnya.
Nah sudah mulai tampak bukan, bahwa
anak bebas menjawab sesuai dengan kemampuannya. Asal sesuai dengan prosedur,
semua jawaban bisa benar. Tinggal kita menghitung berapa banyak jawaban yang
benar. Hal ini memang sedikit memberatkan bagi guru. Karena harus mengoreksi
jawaban yang begitu banyak. Namun untuk membentuk anak didik yang kreatif,
tidaklah salah untuk sesekali kita menyisipkan soal seperti di atas.
Tipe soal yang tidak kaku tersebut biasanya dinamakan open question. Menurut penulis, setidaknya ada 5 manfaat
ketika, guru menyajikan soal dengan open question. Berikut ini manfaatnya.
Pertama, oleh
karena jawaban tidak tunggal, maka siswa akan terbiasa berfikir divergen
(menyebar). Antar siswa yang satu dengan yang lainnya boleh berbeda jawaban. Ini
mengakibatkan siswa tidak mudah 'tertekan'. Kedua, soal seperti itu
menuntut siswa kratif. Mereka akan terbiasa bernalar. Dampak berikutnya adalah
siswa akan terbiasa tidak mudah menyerah. Daya juangnya akan meningkat. Ketiga,
siswa akan terbiasa menghargai pendapat orang lain. Walau jawaban dia tidak
sama dengan temannya, dia akan fine-fine saja. Ini akan berdampak kelak
ketika dewasa, dia tidak akan asing dengan keanekaragaman karakter manusia. Dia
akan mudah beradaptasi dengan siapapun. Keempat, guru akan dituntut untuk lebih kreatif. Guru akan
selalu memunculkan soal-soal yang tidak rutin. Soal seperti ini biasanya jarang
ditemui di buku-buku teks maupun buku yang ada di pasaran. Guru didorong untuk
membuat soal sendiri. Kelima, siswa akan terbiasa berfikir
sesuatu yang tidak dipikirkan oleh orang lain. Dia akan berfikir lebih dari
biasanya. Ini akan memunculkan generasi creator. Generasi pencipta bukan
hanya sekedar pemakai.
Open question ini tidak hanya
untuk anak sekolah dasar. Untuk anak sekolah menengah (pertama maupun atas) pun
masih dapat diterapkan. Sudah saatnya guru melahirkan generasi yang kreatif dan
berdaya juang tinggi. Begitu besar manfaat open question ini. Tidaklah rugi
jika kita mencobanya sesegera mungkin. Bukankah begitu?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar