Jumat, 03 Oktober 2014

Duplikat Jawaban

Coba tanyakan ke beberapa guru. Hal apa yang paling tidak disukai? Kemungkinan jawabannya adalah mengoreksi. Banyak guru berhasil dalam mengajar. Sukses dalam mengelola kelas. Tapi seringkali gagal ketika mengoreksi hasil belajar siswa. Gagal di sini bukan berarti tidak bisa. Melainkan gagal menyelesaikannya tepat waktu. Sering kali siswa menunggu lama untuk mengetahui hasil belajarnya, baik hasil pretes, postes, UH, UTS, UAS maupun tugas tugas rutinnya. Respon balikan yang tidak segera sedikit banyak menyumbang demotivasi siswa dalam belajar.

Guru semakin ‘malas’ mengoreksi, apabila siswa mengerjakan tugas asal-asalan. Hanya gugur kewajiban saja. Kadang siswa mengerjakan tidak sampai tuntas, hanya beberapa bagian saja. Ditambah lagi tulisan siswa yang sulit dibaca. Membuat guru semakin ‘ogah’ untuk melanjutkan koreksiannya. Selain itu ada fenomena baru yang lagi menjamur belakangan ini. Seperti apa itu. Ikuti uraian berikut.

Dahulu, sebelum era digital, ketika siswa malas  mengerjakan PR, maka yang ia lakukan adalah: pagi-pagi datang ke kelas menunggu teman yang dianggap rajin. Setelah itu dia beraksi dengan cara mendupliasi hasil pekerjaan siswa tadi. Dia tidak ambil pusing, jawaban itu benar atau salah. Yang  penting bisa mengumpulkan tugas dan bebas dari hukuman sang guru.

Di era sekarang, budaya ini malah semakin masif. Dengan mudah siswa yang sudah mengerjakan tugas atau PR, segera mengirimkan email  ke teman-temannya. Teman yang mendapatkan email ini segera menyalinnya. Jadi mereka tidak usah repot – repot datang pagi-pagi ke sekolah. Hebatnya lagi sekarang fenomena itu dibisniskan.  Artinya, seorang anak yang ingin mendapatkan jawaban harus membayar kepada sang pembuat jawaban.

Dengan adanya FB, twitter, line dan sejenisnya membuat duplikasi jawaban tugas semakin mudah. Anak yang sudah selesai mengerjakan PR, tinggal memfoto jawaban dengan HP dan menyebarkan ke semua teman-teman nya melalui media sosial tersebut. Sangat praktis. Bandingkan dengan jaman dahulu. Anak harus antri dan menunggu lama di tempat foto copy an untuk mendapatkan jawaban.

Jika sudah demkian, guru akan semakin malas untuk mengkoreksi. Karena hampir semua jawaban siswa serupa, seragam. Kita sulit mendeteksi mana jawaban yang asli dan mana jawaban tiruan. Sebenarnya bisa saja guru mendeteksinya. Tinggal ditanyai satu per satu siswa di kelas. Jika  dia bisa menerangkan jawaban yang ditulisnya berarti dia mnegerjakan sendiri. Tetapi bagi siswa yang tidak bia menjelaskan darimana jawaban tersebut, patut diduga yang bersangkutan hanya menduplikasi jawbaban. Tapi, pertanyaannya, seberapa kuat sang guru menanyai satu per satu? Apakah malah tidak kurangan waktu untuk menerangkan materi berikutnya?

Akankah hal ini kita biarkan? tentu tidak. Perlu antisipasi dan metode lain untuk meminimalisir hal itu. Salah satunya adalah open question. Sudah saatnya kita menerapkan tugas atau PR dengan jawaban yang tidak tunggal. Dengan demikian siswa bisa menjawab dengan berbagai versi. Mereka akan terbiasa berfikir divergen. Ini berdampak siswa semakin kreatif. Siswa juga akan terbiasa dengan perbedaan. Memang agak sulit mengkoreksinya. Akan tetapi tujuan kita membuat anak didik bisa membuat alternatif jawab dari segala persoalan akan bisa diwujudkan.


Nah, beranikah kita melakukannya? Selamat mencoba. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar