Coba tanyakan ke beberapa guru.
Hal apa yang paling tidak disukai? Kemungkinan jawabannya adalah mengoreksi.
Banyak guru berhasil dalam mengajar. Sukses dalam mengelola kelas. Tapi seringkali
gagal ketika mengoreksi hasil belajar siswa. Gagal di sini bukan berarti tidak
bisa. Melainkan gagal menyelesaikannya tepat waktu. Sering kali siswa menunggu
lama untuk mengetahui hasil belajarnya, baik hasil pretes, postes, UH, UTS, UAS
maupun tugas tugas rutinnya. Respon balikan yang tidak segera sedikit banyak
menyumbang demotivasi siswa dalam belajar.
Guru semakin ‘malas’ mengoreksi,
apabila siswa mengerjakan tugas asal-asalan. Hanya gugur kewajiban saja. Kadang
siswa mengerjakan tidak sampai tuntas, hanya beberapa bagian saja. Ditambah lagi
tulisan siswa yang sulit dibaca. Membuat guru semakin ‘ogah’ untuk melanjutkan
koreksiannya. Selain itu ada fenomena baru yang lagi menjamur belakangan ini. Seperti
apa itu. Ikuti uraian berikut.
Dahulu, sebelum era digital,
ketika siswa malas mengerjakan PR, maka
yang ia lakukan adalah: pagi-pagi datang ke kelas menunggu teman yang dianggap
rajin. Setelah itu dia beraksi dengan cara mendupliasi hasil pekerjaan siswa
tadi. Dia tidak ambil pusing, jawaban itu benar atau salah. Yang penting bisa mengumpulkan tugas dan bebas dari
hukuman sang guru.
Di era sekarang, budaya ini malah
semakin masif. Dengan mudah siswa yang sudah mengerjakan tugas atau PR, segera
mengirimkan email ke teman-temannya. Teman
yang mendapatkan email ini segera menyalinnya. Jadi mereka tidak usah repot –
repot datang pagi-pagi ke sekolah. Hebatnya lagi sekarang fenomena itu
dibisniskan. Artinya, seorang anak yang
ingin mendapatkan jawaban harus membayar kepada sang pembuat jawaban.
Dengan adanya FB, twitter, line
dan sejenisnya membuat duplikasi jawaban tugas semakin mudah. Anak yang sudah
selesai mengerjakan PR, tinggal memfoto jawaban dengan HP dan menyebarkan ke
semua teman-teman nya melalui media sosial tersebut. Sangat praktis. Bandingkan
dengan jaman dahulu. Anak harus antri dan menunggu lama di tempat foto copy an
untuk mendapatkan jawaban.
Jika sudah demkian, guru akan
semakin malas untuk mengkoreksi. Karena hampir semua jawaban siswa serupa,
seragam. Kita sulit mendeteksi mana jawaban yang asli dan mana jawaban tiruan.
Sebenarnya bisa saja guru mendeteksinya. Tinggal ditanyai satu per satu siswa
di kelas. Jika dia bisa menerangkan
jawaban yang ditulisnya berarti dia mnegerjakan sendiri. Tetapi bagi siswa yang
tidak bia menjelaskan darimana jawaban tersebut, patut diduga yang bersangkutan
hanya menduplikasi jawbaban. Tapi, pertanyaannya, seberapa kuat sang guru menanyai
satu per satu? Apakah malah tidak kurangan waktu untuk menerangkan materi
berikutnya?
Akankah hal ini kita biarkan? tentu
tidak. Perlu antisipasi dan metode lain untuk meminimalisir hal itu. Salah satunya
adalah open question. Sudah saatnya kita menerapkan tugas atau PR dengan
jawaban yang tidak tunggal. Dengan demikian siswa bisa menjawab dengan berbagai
versi. Mereka akan terbiasa berfikir divergen. Ini berdampak siswa semakin
kreatif. Siswa juga akan terbiasa dengan perbedaan. Memang agak sulit mengkoreksinya.
Akan tetapi tujuan kita membuat anak didik bisa membuat alternatif jawab dari
segala persoalan akan bisa diwujudkan.
Nah, beranikah kita melakukannya? Selamat mencoba.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar