Dua puluh tahun yang lalu atau
tahun-tahun sebelumnya, jika guru masuk kelas, seakan ada kekuatan ‘magis’ yang
muncul. Seketika kelas menjadi lebih tenang. Semua kegiatan siswa terhenti. Semua
siswa fokus melihat siapa guru yang hadir di depan mereka. Bahkan beberapa
menundukkan kepala. Takut menatap mata sang guru. Terkadang mendengar suara sepatu
guru saja, beberapa siswa sudah keder. Apalagi sang guru itu dikenal killer.
Kebelet pipis pun kadang ditahan untuk sementara waktu, sampai benar-benar
dipastikan sang guru sudah tersenyum.
Andai siswa terlambat masuk
kelas, gemetarnya minta ampun. Tidak jarang malah sekalian tidak masuk kelas. Menunggu
pergantian jam berikutnya. Begitu guru keluar kelas, dia segera masuk kelas
sebelum guru pelajaran berikutnya datang. Saat – saat itu sulit ditemui siswa
yang tidak mengerjakan PR. Ia rela datang pagi – pagi, menunggu contekan dan
menyalinnya secepat kilat, daripada harus berdiri di depan kelas dua jam
pelajaran. Lebih malu lagi jika dijemur di bawah terik matahari di tengah
lapangan. Apalagi kalau disuruh lari keliling sekolah tiga kali. Selain ‘gobyos’,
juga rasa malu akan dikenang selama sekolah disitu.
Kekuasan guru saat itu begitu
power full. Walau kemampuan guru pas-pasan. Walau kompetensinya di bawah
standar. Walau beliau mengajar tidak sesuai dengan ilmu yang dikuasainya. Tidak
ada satupun siswa yang berani ngeyel, apalagi membantah. Seakan siswa kompak menyadari
bahwa guru itu lebih tua usianya, lebih senior. Sehingga lebih banyak tahu akan
segala hal. Guru lebih dulu belajar ilmu, sehingga sang murid yang belajar
belakangan, dikatakan ‘kuwalat’ jika mendahului sang guru. Andai berbeda
pendapat pun, siswa paling banter hanya membatin, tidak berani mengutarakan
secara langsung. Selain merasa tidak pantas, juga takut kalau di ‘cing’, takut
kalau nilai di raportnya jelek.
Bandingkan dengan kondisi
sekarang, bahkan mungkin untuk masa-masa mendatang. Siswa tidak takut jika
tidak mengerjakan PR. Siswa juga tidak akan risau jika terlambat masuk sekolah.
Jika dihukum, dengan enteng dia akan laporan ke orang tuanya. Tentu dengan
modifikasi kalimat selera dia. Sebagai orang tua, pastilah dia akan membela
anaknya mati-matian. Apalagi anak itu semata wayang. Bahkan bisa saja sang
orang tua memvonis bahwa pihak sekolah sudah melanggar HAM. Dan hari
berikutnya, sang anak sudah tidak akan masuk sekolah selamanya, karena sudah
berpindah ke sekolah lain yang dianggap lebih tolerir.
Kita sepakat tidak boleh ada
kekerasan di sekolah. Kita juga sepakat bahwa disiplin harus ditegakkan. Agar aturan
sekolah berjalan dan kegiatan belajar menjadi nyaman. Tetapi, kalau hanya
mengandalkan gaya mengajar tipe 20 tahun
yang lain, pasti sang guru, cepat atau lambat akan di tinggalkan sang
murid. Kondisi sekarang memungkinkan ilmu bisa diperoleh dari mana saja dan
dimana saja. Bisa saja, siswa lebih tahu dulu suatu materi, karena dia lebih
dulu mengakses ilmu itu di internet. Sementara sang guru mengkses dari buku
teks. Biasanya ilmu dari internet lebih fresh, lebih up to date
dibanding dari buku teks. Siswa lebih tahu dulu dari gurunya. Mungkin saja ‘kebo
nyusu gudel’ (murid menimba ilmu dari guru) benar-benar terjadi. Tentu, kelak akan
banyak diskusi panas dan perdebatan di dalam kelas, jika sang guru tidak meng upgrade
diri.
Saatnya guru sudah tidak perlu
mengandalkan Man Power tetapi Mind Power. Dengan mind power, ‘dominasi’
guru akan tetap terjaga. Alasan logis disertai data akurat akan memuaskan
logika siswa. Perlu penjelasan terstruktur dan pendekatan manusiawi agar cap
guru killer tidak melekat pada setiap guru. Sebaliknya akan banyak bermunculan
gelar guru gaul, guru baik, dan guru pinter. Mind power ini tidak
bisa sim salabim begitu saja. Perlu perjuangan serius dan kemauan kuat
untuk mewujudkannya. Guru harus visioner. Bisa memprediksi apa kira-kira
yang akan terjadi sepuluh tahun mendatang. Bisa membayangkan kondisi
masyarakat, ketika sang anak didiknya sudah menjadi alumni.
Melek informasi dan tanggap
teknologi mutlak diperlukan. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Meskipun dari segi
ekonomi sang guru kalah di banding siswanya, tidak ada alasan guru tertinggal
informasi dari muridnya. Membaca buku (online maupun offline) sebanyak-banyaknya
dan berani meninggalkan kebiasaan lama perlu didengungkan. Dunia (pendidikan) terus
bergerak. Semakin hari semakin cepat. Jika tidak mengimbangi, kita akan menjadi
‘tua’ lebih dini, karena pengetahuan sang guru yang minim. Percayakah Anda bahwa
Man Power akan terkalahkan dengan Mind Power?. Biarkan sejarah yang akan membuktikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar