Kamis, 04 Desember 2014

Mengasah Soft Skills Guru

Coba sesekali dengarlah ‘rasan-rasan’ guru. Umumnya kalau tidak ngrasani pimpinan, ya ngrasani kebijakan pemerintah. Apalagi jika tunjangan belum cair, baik uang transport, tunjangan fungsional, mapun uang sertifikasi. Bisa-bisa mengajar tidak konsen. Sangat jarang guru ngrasani murid. Kalaupun ada hanya di sela-sela waktu, di kantin sekolah, saat siswa itu melanggar, atau saat ingat saja.


Tidak jarang guru menyalahkan siswa jika hasil belajar tidak bagus. Banyak alibi yang dikemukakan. Berbagai alasan akan dibuat se real mungkin. Tapi sangat jarang yang self instropection. Paling-paling sang guru berujar, saya lho sudah menyiapkan materi. Power point udah ada, LKS juga sudah dilatihkan. Review menjelang UTS/UAS ya sudah. Trik dan tips juga sudah dikasihkan. Pokoknya semua jurus sudah dilakukan. Tapi lha iya kok aneh, hasilnya cuma segitu doang. Apa yang salah?

Yang sering dilakukan guru ketika di berhadapan dengan peserta didik adalah sebatas hard skills saja. Menyiapkan materi, menyampaikan materi, mengelola belajar kelompok, dan mengelola kelas. Sementara aspek-aspek soft skills sering terlewatkan. Jadi tidaklah aneh kalau hasilnya di luar perkiraan. Soft skills ini meliputi pemahaman guru tentang hakikat belajar, hakikat mengajar, prinsip belajar dan mengenal peserta belajar. Memang soft skills tidak tampak, namun dampaknya luar biasa. Berbeda dengan hard skills yang kasat mata dan bisa di nilai dengan jelas, soft skills lebih situasional. Kondisi di kelas yang satu berbeda dengan kondisi di kelas yang lain. Bahkan psikologi siswa di kelas yang sama pun berbeda pada waktu yang berbeda.

Berikut ini prinsip belajar (salah satu soft skills) yang perlu dikuasai dan include dengan jiwa guru.

Pertama, guru harus memahami bahwa belajar akan terjadi jika ada kesamaan atau kemiripan antara materi ajar dengan pengalaman pribadi siswa. Oleh karenanya apersepsi di awal pelajaran itu mutlak diperlukan. Perlu menyamakan ‘frekuensi’ pengetahuan siswa. Jika tidak nyambung dengan apa yang sudah diketahui siswa, bisa dipastikan materi yang diajarkan tidak akan mengendap di memori siswa. Lebih tidak mengenakkan lagi jika sampai siswa berucap, ini ngomong apa sich?.

Kedua, guru sebaiknya tidak memulai pelajaran jika siswa belum siap. Tidak usah memaksakan. Apapun yang disampaikan guru, jika siswa tidak siap untuk belajar, hasilnya mubazir waktu dan tenaga. Akan sedikit lebih sulit menyiapkan siswa jika jam pelajaran pada saat siang. Bagi sekolah full day, lebih sulit lagi jika pelajaran setelah tengah hari. Apalagi jika pelajaran sebelumnya adalah jam olah raga atau kesenian. Hal ini wajar karena fisik semakin melemah dan daya konsentrasi cenderung menurun. Perlu seni khusus untuk me refresh kognisi siswa agar siap belajar.

Ketiga, guru sebaiknya menyadari bahwa siswa akan belajar jika ada sesuatu yang dipelajari. Mungkin sebagian dari kita menganggap ini hal aneh. Kan setiap mengajar pasti ada sesuatu yang dipelajari?. Jawabnya belum tentu. Bagi sebagian anak, jika dia sudah lebih dulu tahu materi yang diajarkan sang guru, dia tidak akan tertarik lagi dengan materi itu. Sang murid tahu dari mana? Bisa dari orang tua sendiri atau guru lesnya atau dari bimbel di luar sekolah. Ini tantangan tersendiri bagi sekolah-sekolah yang siswanya anak orang borju. Review materi yang diberikan guru menjelang UTS maupun UAS juga kadang membuat siswa agak bosan. Bagi siswa pintar, guru dianggap seperti kaset rusak. Mengulang yang itu-itu saja. Bagi siswa yang kurang pintar, tetap saja siswanya tidak mengerti. Mengapa begitu? Karena metode dan teknik yang diberikan sang guru sama saja dengan yang di awal materi.

Keempat, guru sebaiknya menyadari bahwa seorang siswa dikatakan belajar jika siswa tersebut merasakan manfaat dari apa yang dipelajari. Sering dijumpai guru menyampaikan materi menggebu-nggebu tanpa memberi contoh konkrit aplikasinya. Ini berarti materi yang diberikan hanya menjadi pengetahuan saja. Bukan menjadi ilmu yang dapat digunakan pada kehidupan siswa kelak. Hal Ini tantangan tersendiri bagi guru-guru yang mengajar pada mapel yang cenderung abstrak. Khususnya matematika. Bisa jadi usaha keras untuk menemukan contoh riil menjadi lebih berat dibanding menyampaikan materi itu sendiri.

Nah, jika ke empat soft skills tadi include dengan kompetensi guru, tentu belajar menjadi lebih bermakna. Akan terjadi akselerasi belajar yang tajam. Guru akan terheran-heran dengan hasil belajar siswa. Pasti akan banyak kejutan ketika guru mengoreksi hasil pekerjaan siswa. Guru akan kaget, dengan  perubahan signifikan pada hasil belajar. Mengapa begitu? Karena guru sudah menyiapkan sarana yang tepat itu. Akankah lahir guru-guru yang soft skills nya mumpuni? Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar