Coba sesekali dengarlah ‘rasan-rasan’
guru. Umumnya kalau tidak ngrasani pimpinan, ya ngrasani kebijakan
pemerintah. Apalagi jika tunjangan belum cair, baik uang transport, tunjangan
fungsional, mapun uang sertifikasi. Bisa-bisa mengajar tidak konsen. Sangat
jarang guru ngrasani murid. Kalaupun ada hanya di sela-sela waktu, di
kantin sekolah, saat siswa itu melanggar, atau saat ingat saja.
Tidak jarang guru menyalahkan
siswa jika hasil belajar tidak bagus. Banyak alibi yang dikemukakan. Berbagai alasan
akan dibuat se real mungkin. Tapi sangat jarang yang self
instropection. Paling-paling sang guru berujar, saya lho sudah menyiapkan
materi. Power point udah ada, LKS juga sudah dilatihkan. Review menjelang
UTS/UAS ya sudah. Trik dan tips juga sudah dikasihkan. Pokoknya semua jurus sudah
dilakukan. Tapi lha iya kok aneh, hasilnya cuma segitu doang. Apa
yang salah?
Yang sering dilakukan guru ketika di berhadapan dengan peserta didik adalah sebatas hard skills saja. Menyiapkan materi, menyampaikan materi, mengelola belajar kelompok, dan mengelola kelas. Sementara aspek-aspek soft skills sering terlewatkan. Jadi tidaklah aneh kalau hasilnya di luar perkiraan. Soft skills ini meliputi pemahaman guru tentang hakikat belajar, hakikat mengajar, prinsip belajar dan mengenal peserta belajar. Memang soft skills tidak tampak, namun dampaknya luar biasa. Berbeda dengan hard skills yang kasat mata dan bisa di nilai dengan jelas, soft skills lebih situasional. Kondisi di kelas yang satu berbeda dengan kondisi di kelas yang lain. Bahkan psikologi siswa di kelas yang sama pun berbeda pada waktu yang berbeda.
Berikut ini prinsip belajar (salah satu soft skills) yang
perlu dikuasai dan include dengan jiwa guru.
Pertama, guru harus
memahami bahwa belajar akan terjadi jika ada kesamaan atau kemiripan
antara materi ajar dengan pengalaman pribadi siswa. Oleh karenanya
apersepsi di awal pelajaran itu mutlak diperlukan. Perlu menyamakan ‘frekuensi’
pengetahuan siswa. Jika tidak nyambung dengan apa yang sudah diketahui
siswa, bisa dipastikan materi yang diajarkan tidak akan mengendap di memori
siswa. Lebih tidak mengenakkan lagi jika sampai siswa berucap, ini ngomong apa
sich?.
Kedua, guru
sebaiknya tidak memulai pelajaran jika siswa belum siap. Tidak usah
memaksakan. Apapun yang disampaikan guru, jika siswa tidak siap untuk belajar,
hasilnya mubazir waktu dan tenaga. Akan sedikit lebih sulit menyiapkan
siswa jika jam pelajaran pada saat siang. Bagi sekolah full day, lebih
sulit lagi jika pelajaran setelah tengah hari. Apalagi jika pelajaran
sebelumnya adalah jam olah raga atau kesenian. Hal ini wajar karena fisik semakin
melemah dan daya konsentrasi cenderung menurun. Perlu seni khusus untuk me refresh
kognisi siswa agar siap belajar.
Ketiga, guru sebaiknya
menyadari bahwa siswa akan belajar jika ada sesuatu yang dipelajari.
Mungkin sebagian dari kita menganggap ini hal aneh. Kan setiap mengajar
pasti ada sesuatu yang dipelajari?. Jawabnya belum tentu. Bagi sebagian anak,
jika dia sudah lebih dulu tahu materi yang diajarkan sang guru, dia tidak akan
tertarik lagi dengan materi itu. Sang murid tahu dari mana? Bisa dari orang tua
sendiri atau guru lesnya atau dari bimbel di luar sekolah. Ini tantangan
tersendiri bagi sekolah-sekolah yang siswanya anak orang borju. Review
materi yang diberikan guru menjelang UTS maupun UAS juga kadang membuat siswa agak
bosan. Bagi siswa pintar, guru dianggap seperti kaset rusak. Mengulang yang itu-itu
saja. Bagi siswa yang kurang pintar, tetap saja siswanya tidak mengerti. Mengapa
begitu? Karena metode dan teknik yang diberikan sang guru sama saja dengan yang
di awal materi.
Keempat, guru
sebaiknya menyadari bahwa seorang siswa dikatakan belajar jika siswa tersebut
merasakan manfaat dari apa yang dipelajari. Sering dijumpai guru menyampaikan
materi menggebu-nggebu tanpa memberi contoh konkrit aplikasinya. Ini berarti
materi yang diberikan hanya menjadi pengetahuan saja. Bukan menjadi ilmu yang
dapat digunakan pada kehidupan siswa kelak. Hal Ini tantangan tersendiri bagi
guru-guru yang mengajar pada mapel yang cenderung abstrak. Khususnya matematika.
Bisa jadi usaha keras untuk menemukan contoh riil menjadi lebih berat dibanding
menyampaikan materi itu sendiri.
Nah, jika ke empat soft skills
tadi include dengan kompetensi guru, tentu belajar menjadi lebih bermakna.
Akan terjadi akselerasi belajar yang tajam. Guru akan terheran-heran dengan
hasil belajar siswa. Pasti akan banyak kejutan ketika guru mengoreksi hasil
pekerjaan siswa. Guru akan kaget, dengan
perubahan signifikan pada hasil belajar. Mengapa begitu? Karena guru
sudah menyiapkan sarana yang tepat itu. Akankah lahir guru-guru yang soft
skills nya mumpuni? Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar