Sabtu, 06 Desember 2014

Men-stop Pabrik Guru, Mungkin kah?

Mari kita pikirkan dua hal berikut ini. Pertama, ada muridnya tapi tidak ada gurunya. Bisa dibanyangkan kan? Tentu kondisi kelas berantakan. Proses transfer ilmu tidak akan berjalan. Murid tidak belajar apa-apa. Benar, tanpa guru pun, murid masih bisa belajar. Tetapi tanpa ada pemandu, proses menemukan ilmu (kebenaran) akan menjadi liar. Kedua, ada guru tapi tidak ada muridnya. Ini lebih lucu lagi. Siapa yang diajar. Masak mengajar dirinya sendiri?

Kedua hal tersebut sama-sama tidak mengenakkan. Kira-kira yang akan terjadi  untuk 10 atau 15 tahun lagi (jika kebijakan tidak berubah) adalah yang kedua. Lho, kok bisa? Coba kita perhatikan data berikut ini.

Berdasarkan data LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) per April 2013, menurut Dirjen Dikti, jumlah total LPTK yang ada tercatat sebanyak 415 LPTK. Terdiri dari 376 LPTK swasta, 26 FKIP negeri, satu FKIP Universitas Terbuka, dan 12 eks IKIP negeri. Jumlah itu begitu fantastis, tetapi kualitasnya bikin miris. Yang lebih mengejutkan lagi adalah pernyataan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan (Kemendikbud) Joko Santoso. Beliau mengemukakan bahwa dari sejumlah 415 LPTK di Indonesia, ternyata sekitar 60 persen di antaranya masih di bawah standar atau mutunya belum baik. (Timlo.net)

Memang, sejak digulirkannya UU No. 12 Tahun 2005, tentang Guru dan dosen, animo  remaja untuk menjadi pendidik semakin besar. Seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) 2013 diikuti peserta sebanyak 585.789 orang. Dari jumlah peserta SBMPTN tersebut, sebanyak 407.000 (69,4%) memilih program studi di LPTK. Jumlah peserta SBMPTN yang meminati program studi di LPTK meningkat sangat signifikan dari 2012, yang berjumlah sekitar 350 ribu orang.

Selain SBMPTN, untuk masuk ke perguruan tinggi negeri juga bisa ditempuh melalui jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), dengan jumlah pendaftar mencapai 765.531 orang. Dari jumlah peserta SNMPTN tersebut, sebanyak 379 ribu memilih kuliah di LPTK yang tersebar di berbagai program studi. Jumlah peminat LPTK 2013 jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan 2012 yang hanya sekitar 126 ribu orang. Peningkatan sangat tajam yang mencapai 300% itu merupakan gejala baru sepanjang sejarah LPTK.

Jika tidak ada pembenahan, maka jumlah pabrik guru terus bertambah. Dengan demikian, jumlah guru (sebagai produknya) semakin tak terkendalikan. Ini berarti over load. Stok guru akan melimpah. Di satu sisi kita bisa mendapatkan guru-guru berkualitas, jika seleksinya benar. Bagi yang diterima, dia akan menjadi pelopor kebangkitan anak bangsa di masing-masing sekolah. Bagi yang tidak diterima, akan hijrah ke profesi lain. Pertanyaannya adalah, buat apa kuliah ‘berdarah-darah’ selama 4-5 tahun, kalau akhirnya tidak bekerja sesuai dengan ilmu yang dipelajari?. Makanya tidak heran, di instansi non pendidikan, banyak di isi orang dengan gelar S.Pd atau M.Pd. Atau jangan-jangan mereka mengejar gelar untuk naik jabatan saja ya?  Mungkin sebagian besar dari kita berfikir, untuk kuliah yang mudah dan murah, yaa ambil aja jurusan keguruan. Tentang kepakai atau tidak, itu urusan nanti.

Sebenarnya sederhana. Misalkan jumlah anak usia sekolah itu x (berdasarkan sensus penduduk oleh BPS). Maka akan dibutuhkan sekolah sebanyak y unit. Dari situ bisa dihitung berapa jumlah kelas yang dibutuhkan. Selanjutkan dapat dihitung pula berapa banyak guru dan kepala sekolah yang dibutuhkan. Berapa banyak guru matematika, berapa banyak guru olah raga, berapa banyak guru agama dan seterusnya. Akhirnya, akan bisa ketemu, berapa pabrik guru yang ideal. Tentu ini tidak bisa eksak, tetapi paling tidak tidak akan jauh meleset dari perencanaan. Jika tidak selamanya kita akan gagal mengelola SDM guru  karena tidak berhasil membuat perencanaan yang bagus. Seperti adagium: gagal merencanakan, berarti merencanakan kegagalan.

Bukan hal asing lagi kalau jumlah pabrik guru itu ada dimana-mana. Kalau Anda keliling Indonesia, hampir di setiap kabupaten / Kota selalu ada perguruan tinggi yang mencetak guru. Baik yang berlabel Universitas maupun Sekolah Tinggi.  Bahkan ada yang kuliahnya hanya Satu-Minggu. Itu tidak salah. Tapi perlu ada jaminan, bahwa pabrik guru itu harus benar-benar KW1. Ini menyangkut masa depan bangsa lho. Tidak boleh asal-asalan. Oleh karenanya perlu standarisasi baku bagi LPTK. Bagi yang tidak memenuhi standar, maka ijin operasionalnya bisa ditinjau ulang. Atau bahkan di stop ijin operasinya. Aturan ketat perlu di terapkan. Hal ini menghindari lahirnya guru abal-abal. Kasihan generasi berikutnya kan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar