HC pada judul di atas bukanlah
kependekan dari Honoris Causa. Gelar
kehormatan yang diberikan kampus untuk sesorang yang berjasa pada bidang
tertentu. HC di sini adalah Highest
Competence. Kompetensi tertinggi bagi seorang guru. Ini tidak diukur
berdasarkan banyak gelar yang didapat atau seberapa lama dia menempuh studi.
Ini juga tidak ditandai dengan banyaknya penghargaan dan piala yang diperoleh
sang guru. Kompe tensi ini diukur dengan perasaan cinta.
Pernah kan kita jumpai seorang
guru yang atraktif. Tampil di kelas sangat semangat. Power full. Energinya stabil, mulai opening class hingga closing.
Mengajarnya memukau. Energy positifnya menular ke siswa. Warga kelas menjadi
semangat belajar. Improvisasinya dalam classroom
management membuat para peserta didik menjadi tidak bosan. Kadangkala sang
guru menjadi idola. Beberapa siswa menginginkan menjadi seperti sang guru.
Tentu ini membutuhkan ilmu public
speaking yang tidak mudah. Namun demikian ini bukanlah kompetensi tertinggi
bagi seorang guru.
Di lain tempat, kita juga pernah
menjumpai seorang guru yang pandai mengajar. Penjelasannya runtut, mudah
diterima. Topik yang dirasa sangat sulit bagi kebanyakan siswa, mampu dia
sajikan dengan sederhana. Berbagai strata kognitif siswa di kelas itu mempu
menyerap penjelasan guru. Ilustrasi gambar dan pemilihan contoh mudah ditangkap
siswa. Guru tipe ini pun juga sering kali menjadi idola bagi siswa. Apalagi
menjelang UN atau SBMPTN, beliau sering didekati siswanya agar diberi tips dan
trik menyelesaiakan soal. Namun, kompetensi yang dimiliki sang guru jenis
inipun bukanlah termasuk kompetensi tertinggi.
Pada kelas yang lain, kita jumpai
guru yang suka melucu. Bahan humor terasa tidak pernah ada habisnya. Materi
apapun bisa dibuat lucu. Suasana kelas tidak mejadi garing. Walau kadang satu dua siswa dijadikan tumbal. Bahan
olek-olokan atau contoh jelek. Yang penting suasana kelas tidak jumud. Tentu
penggemarnya banyak. Guru tipe ini mudah diingat walau sudah jadi alumni. Namun
kemampuan meng organize kelas dengan
cara ini bukanlah komptensi tertinggi bagi seorang guru.
Guru lain, tampil di kelas
biasa-biasa saja. Dia mengajar sesuai patron kurikulum dan petunjuk teknis waka
kurikulum. Dia mengajar di jalan yang ‘lurus’. Akan menjadi gelisah jika jam
mengajar banyak tersita buat kegiatan atau acara kesiswaan yang lain. Itu
artinya dia akan memutar otak agar materi di kurikulum habis dengan durasi
waktu yang sempit. Namun dia berinfak dengan banyak waktu luang. Dia akan
sangat telaten m,engajari siswa yang kurang dalam materi tertentu. Tentu itu
dilakukan diluar jam belajar normal. Ketelatenan ini menjadikan guru tipe ini
dikenang oleh beberapa siswa yang pernah dekat dengan guru ini. Namun demikian,
kompetensi kesabaran guru ini juga bukanlah kompetensi bagi seorang guru.
Highest competence bagi seorang guru adalah manakala sang guru itu mampu
mencitai muridnya dengan tulus, dan muridnya mencintai guru dengan tulus pula.
Dia mampu mengalirkan energi keberkahan ilmu. Diam-diam di kesunyian malam,
sang guru mendoakan muridnya dengan khusuk. Dia juga mampu membuat murid nya
mencitai tanpa pamrih. Kekaguman sang murid pada guru tidak akan pernah luntur.
Kapanpun. Walau kelak berbeda tempat sang murid masih teringat akan guru dan
menyisipkan doa di sela-sela aktifitasnya. Meskipun sudah wafat, sang murid
masih mengenal kebaikan sang guru. Kompetensi inilah yang akan melahirkan
generasi emas dengan keunggulan akhlak dalam memuliakan ilmu dan para penyalur
ilmu.
Tulusnya sang guru dalam mendidik
(bukan hanya mengajar) tidak akan dibatasi oleh ruang kelas saja. Tidak
terhambat oleh ujian dan bingkai kurikulum. Karena kecintaan itulah, maka sang
guru akan tampil PRIMA setiap berhadapan dengan muridnya. Baik di depan kelas
maupun di luar kelas. Senyum tulus dan kata-kata menentramkan selalu meluncur
dari bibir beliau. Tentu guru seperti ini akan memberikan yang terbaik bagi
muridnya. Mencintai dan dicintai adalah kompetensi tertinggi bagi seorang guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar