Selasa, 21 April 2015

Untuk Apa Ujian?

Pernahkan anda mendapati anak anda menangis gara-gara nilai ujiannya jelek? Atau, pernahkah anda menangis karena melihat hasil ujian anak anda jelek? Keduanya memang tidak mengenakkan. Untuk kasus pertama, bagi orang tua sangat menyesakkan. Bagaimana tidak, sang buah hati disekolahkan dengan harapan mendapat kebahagian dalam hidup sang anak, tetapi sang guru malah membuat anak menjadi sedih. Mengapa bisa begitu?. Bukankah sekolah itu seharusnya menyenangkan? Bukankah sekolah itu rumah kedua bagi sang anak?

Bagi yang sangat care pada anaknya, kasus kedua mungkin sering terjadi. Apalagi kalau sang ibu atau sang bapak merasa pinter ketika masa kecilnya. Dia pasti terheran-heran mengapa kepintarannya tidak menurun ke anaknya. Kemungkinan ada sedikit protes dengan hasil yang di dapat. Pilihannya, kalau tidak memarahi anaknya, dia akan memarahi gurunya. Menjadi lebih parah jika ada gengsi diantara orang tua. Dia tidak rela jika anak temannya lebih pintar daripada anak sendiri.

Kita semua setuju, kejadian di atas tidak seharusnya terjado. Namun, pertanyaannya, mengapa hal itu selalu ada? Dari generasi ke genrasi? Mulai zaman paper base test sampai computer base tes. Menurut penulis, seandainya cara guru mengevaluasi itu benar tentu tidak akan terjadi siswa menangisi hasil ulangannya. Seandainya proses mengoreksi dan memperlakukan hasil pekerjaan siswa itu benar, tentu tidak ada lagi siswa atau orang tua yang menangis.

Sebagian besar hal ini terjadi, karena sang guru begitu mudah mencoret jawaban siswa yang di rasa salah. Apalagi dengan tinta merah. Tanpa ada penjelasan mengapa itu salah. Hasil ujian diberikan ke siswa tanpa ada pembetulan. Kalau itu terjadi, tentu membuat siswa bertanya-tanya. Apa yang salah? Mengapa ini kok salah? Paling banter dia hanya mencocokkan dengan temannya. Andai jawaban temannya juga salah, maka putuslah harapan yang anak untuk mendapatkan penjelasan bagaimana yang benar. Sedikit lebih baik jika dibahas bersama, walau inipun kadang kurang memuaskan sebagian siswa.

Bagi sebagian anak, warna merah juga menakutkan. Apalagi hasilnya di bawah standar ketuntasan minimal. Bisa-bisa dia trauma. Penggunaan warna bolpoin atau tinta secara psikologis juga berpengaruh terhadap kejiwaan seorang anak. Apalagi untuk anak sekolah dasar. Umumnya warna merah menunjukkan sesuatu itu berbahaya. Nah, berbahaya bukan, kalau suasana belajar selalu dikaitkan dengan suasana berbahaya.

Ke depan, menurut penulis, sebaiknya ujian, ulangan, atau sejenisnya selalu memberi kesempatan bagi siswa utuk merefleksi hasil ujiannya. Guru sebaiknya memberi catatan kecil, mengapa itu salah mengapa ini salah. Akan lebih baik lagi jika ada saran dari guru. Hal ini memang berat bagi guru, perlu waktu lebih. Butuh energi besar. Apalagi jika jumlah siswa jumbo untuk tiap kelas. Dan kebetulan sang guru mengajar di banyak kelas. Namun hal ini harus dilakukan agar ada timbal balik antara guru dan siswa. Agar siswa menyadari dimana letak kesalahannya. Agar ‘nyambung’ maunya guru dengan maunya siswa. Pengoreksian hasil ujian dimaksudkan untuk perbaikan hasil belajar siswa, bukan semata-mata men-judge kemampuan siswa. Esensi ujian adalah perbaikan bukan penghakiman atau penghukuman.

Jika hal ini dilakukan, penulis berhipotesis bahwa akan ada perbaikan hasil belajar siswa. Siswa tidak akan merasa terhakimi dengan nilai yang rendah. Sebaliknya dia akan termotivasi untuk belajar lebih karena tulisan kecil sang guru yang memotivasi dirinya untuk lebih baik lagi. Komentar kecil sang guru pada kertas ulangan dampaknya luar biasa. Tentu komentar yang positif, terlepas hasil ulangannya baik atau jelek. Akan menjadi lebih spektakuler apabila ada waktu khusus sang guru berdiskusi kecil dengan siswa tentang hasil belajarnya.


Bukankah lebih baik kita menunjukkan pada siswa bahwa itu salah, kemudian membetulkannya daripada membiarkan siswa selalu terombang-ambing dengan konsep yang salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar