Pernahkan anda mendapati anak
anda menangis gara-gara nilai ujiannya jelek? Atau, pernahkah anda menangis
karena melihat hasil ujian anak anda jelek? Keduanya memang tidak mengenakkan. Untuk
kasus pertama, bagi orang tua sangat menyesakkan. Bagaimana tidak, sang buah hati
disekolahkan dengan harapan mendapat kebahagian dalam hidup sang anak, tetapi sang
guru malah membuat anak menjadi sedih. Mengapa bisa begitu?. Bukankah sekolah
itu seharusnya menyenangkan? Bukankah sekolah itu rumah kedua bagi sang anak?
Bagi yang sangat care pada anaknya, kasus kedua mungkin
sering terjadi. Apalagi kalau sang ibu atau sang bapak merasa pinter ketika
masa kecilnya. Dia pasti terheran-heran mengapa kepintarannya tidak menurun ke
anaknya. Kemungkinan ada sedikit protes dengan hasil yang di dapat. Pilihannya,
kalau tidak memarahi anaknya, dia akan memarahi gurunya. Menjadi lebih parah
jika ada gengsi diantara orang tua. Dia tidak rela jika anak temannya lebih
pintar daripada anak sendiri.
Kita semua setuju, kejadian di
atas tidak seharusnya terjado. Namun, pertanyaannya, mengapa hal itu selalu
ada? Dari generasi ke genrasi? Mulai zaman paper base test sampai computer base
tes. Menurut penulis, seandainya cara guru mengevaluasi itu benar tentu tidak
akan terjadi siswa menangisi hasil ulangannya. Seandainya proses mengoreksi dan
memperlakukan hasil pekerjaan siswa itu benar, tentu tidak ada lagi siswa atau
orang tua yang menangis.
Sebagian besar hal ini terjadi,
karena sang guru begitu mudah mencoret jawaban siswa yang di rasa salah. Apalagi
dengan tinta merah. Tanpa ada penjelasan mengapa itu salah. Hasil ujian
diberikan ke siswa tanpa ada pembetulan. Kalau itu terjadi, tentu membuat siswa
bertanya-tanya. Apa yang salah? Mengapa ini kok salah? Paling banter dia hanya mencocokkan
dengan temannya. Andai jawaban temannya juga salah, maka putuslah harapan yang
anak untuk mendapatkan penjelasan bagaimana yang benar. Sedikit lebih baik jika
dibahas bersama, walau inipun kadang kurang memuaskan sebagian siswa.
Bagi sebagian anak, warna merah
juga menakutkan. Apalagi hasilnya di bawah standar ketuntasan minimal. Bisa-bisa
dia trauma. Penggunaan warna bolpoin atau tinta secara psikologis juga berpengaruh
terhadap kejiwaan seorang anak. Apalagi untuk anak sekolah dasar. Umumnya warna
merah menunjukkan sesuatu itu berbahaya. Nah, berbahaya bukan, kalau suasana
belajar selalu dikaitkan dengan suasana berbahaya.
Ke depan, menurut penulis,
sebaiknya ujian, ulangan, atau sejenisnya selalu memberi kesempatan bagi siswa
utuk merefleksi hasil ujiannya. Guru sebaiknya memberi catatan kecil, mengapa
itu salah mengapa ini salah. Akan lebih baik lagi jika ada saran dari guru. Hal
ini memang berat bagi guru, perlu waktu lebih. Butuh energi besar. Apalagi jika
jumlah siswa jumbo untuk tiap kelas. Dan kebetulan sang guru mengajar di banyak
kelas. Namun hal ini harus dilakukan agar ada timbal balik antara guru dan
siswa. Agar siswa menyadari dimana letak kesalahannya. Agar ‘nyambung’ maunya
guru dengan maunya siswa. Pengoreksian
hasil ujian dimaksudkan untuk perbaikan hasil belajar siswa, bukan semata-mata
men-judge kemampuan siswa. Esensi ujian
adalah perbaikan bukan penghakiman atau penghukuman.
Jika hal ini dilakukan, penulis berhipotesis
bahwa akan ada perbaikan hasil belajar siswa. Siswa tidak akan merasa terhakimi
dengan nilai yang rendah. Sebaliknya dia akan termotivasi untuk belajar lebih
karena tulisan kecil sang guru yang memotivasi dirinya untuk lebih baik lagi. Komentar
kecil sang guru pada kertas ulangan dampaknya luar biasa. Tentu komentar yang
positif, terlepas hasil ulangannya baik atau jelek. Akan menjadi lebih
spektakuler apabila ada waktu khusus sang guru berdiskusi kecil dengan siswa
tentang hasil belajarnya.
Bukankah lebih baik kita menunjukkan pada siswa bahwa itu
salah, kemudian membetulkannya daripada membiarkan siswa selalu terombang-ambing
dengan konsep yang salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar