Sebagai guru, mungkin Anda pernah
mengalami hal seperti ini. Sebagai siswa, mungkin Anda pernah mempunyai teman
seperti ini. Yakni seorang anak yang ‘luar biasa’. Luar bisa berarti di luar
kebiasaan siswa pada umumnya. Seorang anak yang biasa dicap nakal, baik oleh
temannya maupun oleh gurunya. Anak ini biasanya usil, suka mengganggu temanya,
iseng, malas mengerjakan tugas, sering terlambat, bahkan tidak jarang membolos.
Segala cara sudah diupayakan agar
si anak menjadi ‘biasa’. Turun tangannya guru BK pun tidak banyak mengubah
keadaan. Bahkan undangan wali murid jarang di penuhi. Wakil Kepala sekolah bidang
kesiswaan sudah angkat tangan. Bagi sekolah yang jumbo (jumlah siswanya banyak)
tentu dengan mudah kepala sekolah mengeluarkan surat mutasi. Namun bagi sekolah
pinggiran yang jumlah siswanya kecil, tentu berpikir ulang untuk mengeluarkan
si anak tersebut.
Kepala sekolah yang bijak
biasanya memanggil atau setidaknya mengajak bicara wali kelasnya. Dia berharap
sang wali kelas dapat mengupayakan agak si anak bisa berubah. Sang guru mata
pelajaran pun diharap bisa menggunakan jurus teori belajar apapun untuk
kebaikan si anak tersebut.
Bagi guru yang berpaham behavioristik,
tentu mengandalkan reward dan punishment untuk mengendalikan perilaku
anak. Dia akan berusaha mati-matian memberikan stimulus yang tepat agar terjadi
respon positif yang diinginkan. Bagi guru yang berpaham kognitif, dia akan
berusaha mengajari secara privat, mulai hal-hal yang simple. Dia tahu batas kemampuan sang anak tersebut. Sehingga mustahil
dia menerapkan target yang muluk-muluk.
Bisa mencapai kemampuan minimal saja itu sudah bagus, begitu pikir guru tipe
ini.
Sedangkan bagi guru yang berpaham
konstruktivisme,
dia akan mengajak berpikir sang anak setahap-demi setahap. Dibuat seriil
mungkin. Dicari cara yang relevan dengan kehidupan anak tersebut. Anak tersebut
akan disadarkan bahwa apa yang dia perbuat tidak mengguntungkan sedikitpun bagi
si anak. Selanjutnya dia diberi tahu tentang sesuatu yang bermanfaat bagi sang
anak. Tentu semua itu dengan argumen yang logis dan sistematis.
Bagi yang menganut mazhab teori
belajar sosial, dia akan berusaha mendekatkan si anak tersebut dengan
temannya. Bisa dilakukan ketika belajar kelompok atau tugas kelompok. Harapannya,
teman si anak tersebut dapat mempengaruhi dia menjadi lebih baik, bukan
sebaliknya. Semakin banyak teman baik di kelompok itu diharapkan sang anak tadi
dengan cepat ‘tertulari’ hal yang baik.
Bagi guru yang berpaham motivasi,
tentu akan selalu memotivasi sang anak tersebut dengan kalimat positif. Dia
tidak pernah dicap nakal oleh guru tipe ini. Guru akan mendekati secara
personal dan berusaha memasukkan pikiran positif ke anak tersebut melalui
ucapan dan tindakan yang bisa ditiru sang anak. Biasanya dia tidak putus asa
memberi semangat. Seakan-akan motivasinya tetap terbakar meski disiram air
berkali-kali.
Walau guru yang tidak menganut
paham apapun seperti di atas, tentu tetap melakukan hal yang sama jika
menghadapi anak yang tidak biasa tersebut. Bisa gabungan antara dua paham, tiga
paham, bahkan mungkin semuanya.
Andai semua trik dan tips jitu
yang disarankan teori belajar diatas tidak berhasil, jangan khawatir karena ada
satu cara lagi yang ampuh. Apa itu? Yaitu doa. Di setiap akhir sholat, guru
menyisipkan sepotong doa khusus buat si anak tersebut. Tentu sang Maha Pencipta
segala macam model anak, tidak tinggal diam. Pada saatnya nanti sang anak akan
berubah. Entah saat masih di sekolah itu atau selepas dari sekolah itu. Semua
doa sang guru tidak akan ada yang sia-sia. Sebagai leader di kelas, sang guru akan
mengandalkan kekuatan spiritual untuk menaklukkan anak yang ‘luar biasa’ tadi.
Dan itu bisa dilakukan oleh guru apapun, walau tidak mengenal teori belajar
apapun. Bukankah begitu kawan?
seperti kehidupan saya dulu,,, :-D
BalasHapus