Kamis, 05 Maret 2015

Spritual Leader

Sebagai guru, mungkin Anda pernah mengalami hal seperti ini. Sebagai siswa, mungkin Anda pernah mempunyai teman seperti ini. Yakni seorang anak yang ‘luar biasa’. Luar bisa berarti di luar kebiasaan siswa pada umumnya. Seorang anak yang biasa dicap nakal, baik oleh temannya maupun oleh gurunya. Anak ini biasanya usil, suka mengganggu temanya, iseng, malas mengerjakan tugas, sering terlambat, bahkan tidak jarang membolos.

Segala cara sudah diupayakan agar si anak menjadi ‘biasa’. Turun tangannya guru BK pun tidak banyak mengubah keadaan. Bahkan undangan wali murid jarang di penuhi. Wakil Kepala sekolah bidang kesiswaan sudah angkat tangan. Bagi sekolah yang jumbo (jumlah siswanya banyak) tentu dengan mudah kepala sekolah mengeluarkan surat mutasi. Namun bagi sekolah pinggiran yang jumlah siswanya kecil, tentu berpikir ulang untuk mengeluarkan si anak tersebut.

Kepala sekolah yang bijak biasanya memanggil atau setidaknya mengajak bicara wali kelasnya. Dia berharap sang wali kelas dapat mengupayakan agak si anak bisa berubah. Sang guru mata pelajaran pun diharap bisa menggunakan jurus teori belajar apapun untuk kebaikan si anak tersebut.

Bagi guru yang berpaham behavioristik, tentu mengandalkan reward dan punishment untuk mengendalikan perilaku anak. Dia akan berusaha mati-matian memberikan stimulus yang tepat agar terjadi respon positif yang diinginkan. Bagi guru yang berpaham kognitif, dia akan berusaha mengajari secara privat, mulai hal-hal yang simple. Dia tahu batas kemampuan sang anak tersebut. Sehingga mustahil dia menerapkan target yang muluk-muluk. Bisa mencapai kemampuan minimal saja itu sudah bagus, begitu pikir guru tipe ini.

Sedangkan bagi guru yang berpaham konstruktivisme, dia akan mengajak berpikir sang anak setahap-demi setahap. Dibuat seriil mungkin. Dicari cara yang relevan dengan kehidupan anak tersebut. Anak tersebut akan disadarkan bahwa apa yang dia perbuat tidak mengguntungkan sedikitpun bagi si anak. Selanjutnya dia diberi tahu tentang sesuatu yang bermanfaat bagi sang anak. Tentu semua itu dengan argumen yang logis dan sistematis.

Bagi yang menganut mazhab teori belajar sosial, dia akan berusaha mendekatkan si anak tersebut dengan temannya. Bisa dilakukan ketika belajar kelompok atau tugas kelompok. Harapannya, teman si anak tersebut dapat mempengaruhi dia menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Semakin banyak teman baik di kelompok itu diharapkan sang anak tadi dengan cepat ‘tertulari’ hal yang baik.

Bagi guru yang berpaham motivasi, tentu akan selalu memotivasi sang anak tersebut dengan kalimat positif. Dia tidak pernah dicap nakal oleh guru tipe ini. Guru akan mendekati secara personal dan berusaha memasukkan pikiran positif ke anak tersebut melalui ucapan dan tindakan yang bisa ditiru sang anak. Biasanya dia tidak putus asa memberi semangat. Seakan-akan motivasinya tetap terbakar meski disiram air berkali-kali.

Walau guru yang tidak menganut paham apapun seperti di atas, tentu tetap melakukan hal yang sama jika menghadapi anak yang tidak biasa tersebut. Bisa gabungan antara dua paham, tiga paham, bahkan mungkin semuanya.


Andai semua trik dan tips jitu yang disarankan teori belajar diatas tidak berhasil, jangan khawatir karena ada satu cara lagi yang ampuh. Apa itu? Yaitu doa. Di setiap akhir sholat, guru menyisipkan sepotong doa khusus buat si anak tersebut. Tentu sang Maha Pencipta segala macam model anak, tidak tinggal diam. Pada saatnya nanti sang anak akan berubah. Entah saat masih di sekolah itu atau selepas dari sekolah itu. Semua doa sang guru tidak akan ada yang sia-sia. Sebagai leader di kelas, sang guru akan mengandalkan kekuatan spiritual untuk menaklukkan anak yang ‘luar biasa’ tadi. Dan itu bisa dilakukan oleh guru apapun, walau tidak mengenal teori belajar apapun. Bukankah begitu kawan?

1 komentar: