“Mas, bisa ganti ini?” Tanya saya
tiba-tiba sambil tangan saya menunjuk sadel motor saya. “Saged Pak”, jawab pemuda
itu dengan sigap. Setelah saya keliling – keliling agak lama, saya putuskan
pilih doraemon, kesukaan anak saya. Jujur, awalnya saya bingung. Terlalu banyak
pilihan. Beracam corak, warna, dan desain dipajang di pinggir jalan depan pintu
masuk Puspa Agro, pusat perdagangan hasil pertanian dan perikanan. Seperti
biasa, harganya macam-macam bergantung anggaran, mulai KW1 sampai KW4.
Saya terkesima dengan pemuda yang
satu ini. Bukan karena kenekatannya menjadi penjual di tas trotoar tetapi
karena kecekatannya dalam memasang karet sadel. Tidak lebih dari 6 menit, semua
beres. Jauh lebih lama daripada waktu yang saya habisnya untuk memilih. Padahal
saya perhatikan prosedur untuk mengganti itu tergolong rumit. Dimulai dari melepaskan
karet sadel yang lama. Steples besar
yang dipakai merekatkan karet sadel itu harus dicabuti satu per satu. Jumlahnya
sangat banyak. Kemudian meng-pas-kan
karet sadel yang baru. Salah sedikit saja, atau melenceng beberapa derajad saja hasilnya pasti tidak eye catching. Baru kemudian men-steples
lagi, mengelilingi body sadel. Tentu tidak
ringan seperti kita mensteples sepuluh lembar kertas. Tapi semua itu dilakukan
dengan terampil dan profesional.
“Sudah berapa lama mas kerja
beginian?”. “Sampun lami pak, mulai sekolah SMP”. Hitungan saya lebih 10 tahun
sang pemuda itu menjadi profresional di bidangnya. Tentu awalnya, dia tidak
mahir. Namun karena pengalamannya setiap hari dan fokus pada satu bidang, akhirnya
dia menjadi ahli.
Dalam perjalanan selanjutnya saya
terpikir dengan pemuda lain yang menjadi guru di sekolah tempat saya mengajar
sebelumnya. Kira-kira usianya sebaya dengan pemuda tadi. Dia lulusan kampus
elit. Jurusannya pun keguruan. Namun anehnya, dia masih dalam tahap belajar
untuk menjadi guru. Seakan waktu 4 – 5 tahun menimba ilmu keguruan di kampus
keguruan itu tidak cukup. Dia masih perlu belajar dari guru lain di sekolah. Sepertinya
bekal yang diberikan para sang maha guru (dosen) di kampus belumlah cukup. Selepas
isya’, saya menemukan jawabnya, mengapa itu terjadi. Jawabnya satu, yaitu dia
kurang jam terbang.
Umumnya mahasiswa keguruan,
melakuan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) atau sejenisnya hanya sekitar 3
bulan saja. Bahkan beberapa kampus hanya 1 bulan atau kurang dari itu. Itupun dilakukan
di semester akhir, menjelang penyusunan tugas akhir. Jelas pengalaman yang
didapat sangat minim. Proses micro
teaching di kampus pun hanya miniatur mengajar. Tidak mencerminkan wajah
kelas sesungguhnya. Ketika PPL pun, kondisi kelas bukan kondisi sebenarnya. Sudah
di modif sedemikian rupa, sehingga siswa agak canggung untuk ‘sedikit nakal’.
Mengapa? Karena yang ada di hadapannya adalah ‘guru baru’. Jadi tidak heran,
setelah selesai belajar (lulus ), sarjana pendidikan harus belajar lagi. Itu artinya
mereka belum siap mengajar.
Perlu terobosan berani bagi
perguruan tinggi pendidikan untuk merombak model perkuliahannya. Seorang mahasiswa
calon guru harus diberi kesempatan luas berinteraksi dengan sekolah dan siswa. Tidak
bisa hanya mengandalkan PPL dan KKN saja. Idelanya PPL dan KKN dilakuan setiap
akhir semester. Jadi ada delapan kali selama studi. Tentu dilakukan secara bertahap,
karena mahasiswa di semester awal belum cukup bekalnya. Untuk pemula misalnya,
hanya ditugasi sit in class, memperhatikan bagaimana cara guru mengajar. Nilai
positif apa yang bisa diambil. Apa yang
akan mereka lakukan andai dia yang mengajar topik itu.
Akan lebih baik, jika kampus
keguruan memiliki sekolah lab yang memadai. Utamanya dari sisi rasionalitas,
antara jumlah mahasiswa dengan jumlah kelas di sekolah lab. Coba cek di intenet
atau data Dikti, berapa banyak kampus keguruan yang memilki sekolah lab. Sangat
sedikit. Kalaupun ada, jumlah mahasiswa terlalu banyak dibanding jumlah siswa
yang akan di ajar. Akibatnya, untuk memberi bekal kepada mahasiswa, hanya
mengandalakan PPL di sekolah mitra atau sekolah apapun yang ‘mau’ dijadikan
tempat praktek mengajar.
Kondisi ideal untuk calon guru
yang baik ada tiga, yaitu kampus, asrama, dan sekolah lab. Kampus tempat mereka
menerima teori – teori pembelajaran. Asrama (ma’had), tempat menjaga moral dan
melatih kedisiplian seorang guru. Sedangkan sekolah lab tempat mereka
berinteraksi dengan siswa sesering mungkin. Ketiganya harus terintegrasi. Ini memungkinkan
jam terbang calon guru- benar-benar dipenuhi. Kelak, selepas lulus dari kampus
seperti ini, mereka siap mengajar, dimanapun dan dalam kondisi sekolah
bagaimanapun. Kampus seperti ini bukanlah dongeng semata. Tetapi ada wujud
nyatanya. Silahkan cek di STKIP Al Hikmah Surabaya, salah satu kampus keguruan
yang unik yang siap melahirkan Guru pejuang Abad 21.
Bukankah kita senang, jika anak biologis kita diajar guru
yang berkarakter pejuang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar